Monday 25 March 2013

Tolong-Menolong dalam Kebajikan



”Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras dalam hukuman-Nya.”

Melalui ayat ini Allah swt. menyuruh umat manusia untuk saling membantu, tolong menolong dalam mengerjakan kabaikan/kebajikan dan ketaqwaan. Sebaliknya Allah melarang kita untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran.

Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian. Meski segalanya ia miliki: harta benda yang berlimpah sehingga setiap apa yang ia mau dengan mudah  dapat terpenuhi, tetapi jika ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan kesepian pula. Kebahagiaan pun mungkin tak pernah ia rasakan.

Lihat saja betapa merananya (nabi) Adam ketika tinggal di surga. Segala kebutuhan yang ia perlukan disediakan oleh Tuhan. Apa yang ia mau, saat itu juga dapat dinikmatinya. Tetapi lantaran ia tinggal sendirian di sana , ia merasa kesepian. Segala yang di sediakan oleh Sang Pencipta bak terasa hampa menikmatinya.

Dalam kesendirian yang diselimuti rasa kesepian itu Adam berdo’a pada Tuhan agar diberikan seorang teman. Allah pun mengabulkannya. Maka sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, Allah pun menciptakan Hawa (Eva dalam Al-Kitab) untuk menemani Adam.

Sebagai makhluk social pula manusia membutuhkan orang lain. Tak hanya sebagai teman dalam kesendirian, tetapi juga partner dalam melakukan sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi, social, budaya, politik maupun amal perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada Tuhan. Di sinilah tercipta hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lainnya.

Nah, Allah swt. memberikan rule (kaidah/panduan) agar dalam melakukan tolong menolong itu seyogyanya ketika kita melakukan hal-hal yang baik, tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan maupun budaya atau norma yang berlaku di masyarakat di mana kita tinggal.

Tentu kita prihatin manakala membaca berita-berita di media massa maupun menyaksikan sendiri di lingkungan kita, bahwa ada banyak orang atau kelompok justru saling bau membau, tolong menolong dalam melakukan kebathilan. Entah itu pencurian, korupsi, pembunuhan, penindasan, penculikan, kekerasan, pembabatan hutan, dsbg. Semuanya dilakukan secara berjamaah. Bukankah hal ini bertentangan dengan anjuran Tuhan sebagaimana tertuang dalam ayat di atas?

Padahal, konon, negeri ini adalah satu negeri yang dihuni oleh mayoritas umat Islam terbesar di belahan dunia. Bukankah ini ironi?

Setiap hari mesjid dan  mushola kian bertambah. Jamaahnya pun kian membludak. Tiap tahun jumlah jemaah haji juga kian tak terbendung, selalu melebihi kuota. Syi’ar-syi’a agama juga menghiasi media massa baik cetak maupun  elektronik. Bahkan piranti teknologi informasi mutakhir bernama telepon seluler dapat kita manfaatkan sebagai media belajar agama. Apa yang kurang dari semua itu?

Nampaknya kita memang mesti menelaah ulang, merenungi kembali model keberagamaan kita selama ini. Jangan sampai terjebak pada hedonisme religius, taat secara ritual, tetapi miskin secara spiritual dan subtansial.

Sambil mencermati kembali ayat di atas, kini saatnya, sebagai muslim Indonesia , kita belajar untuk dapat menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia. Tentu kita semua ingin bahwa bangunan ukhuwah islamiyah yang sudah terbangun di antara internal umat Islam dapat meluas menjadi ukhuwah wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan antar sesama manusia) tanpa harus melihat asal usul, warna kulit, asal suku bangsa.


Tuesday 19 March 2013

Waspada 9 Dampak Makanan dan Harta Haram


"Mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal, "demikian ucapan sebagian orang, seolah-olah bisa melegalkan kita mendapatkan makanan yang haram. Tapi begitulah kondisi kehidupan duniawi saat ini. Banyak orang jungkir-balik bekerja dan mengumpulkan harta demi sesuap nasi, meski harus mengambil dan mendapatkan makanan haram yang sangat dilarang oleh agama.

Padahal gara-gara makanan, doa kita bisa tidak diterima oleh Allah. Ibnu Abbas berkata bahwa Sa'ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah." Apa jawaban Rasulullah SAW, "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya." (HR At-Thabrani)

Dalam Al-Quran disebutkan, "Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan oleh Allah  kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. "Katakanlah, "Adakah Allah telah memberikan izin kepadamu (dalam persoalan mengharamkan dan menghalalkan) atau kamu hanya mengada-adakan sesuatu terhadap Allah?" (Surah Yunus, 10: 59)


Di bawah ini beberapa dampak makanan haram yang masuk ke perut kita, sebagaimana banyak diungkapkan di hadis dan Al-Quran;

5 Dampak Langsung:
1.  Tidak Diterima Amalan
Rasulullah saw bersabda, "Ketahuilah bahwa suapan haram jika masuk ke dalam perut salah satu dari kalian,  maka amalannya tidak diterima selama 40 hari." (HR At-Thabrani).

2. Tidak Terkabul Doa
Sa'ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullan saw, "Ya Rasulullah, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul." Rasulullah menjawab, "Wahai Sa'ad, perbaikilan makananmu, maka doamu akan terkabulkan." (HR At-Thabrani). Disebutkan juga dalam hadis lain bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, "Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!" Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?" (HR Muslim).

3. Mengikis Keimanan Pelakunya
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari Muslim).

4. Mencampakkan Pelakunya ke Neraka
Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR At Tirmidzi).

5. Mengeraskan Hati
Imam Ahmad ra pernah ditanya, apa yang harus dilakukan agar hati mudah menerima kesabaran, maka beliau menjawab, "Dengan memakan makanan halal." (Thabaqat Al Hanabilah : 1/219).

At Tustari, seorang mufassir juga mengatakan, "Barangsiapa ingin disingkapkan tanda-tanda orang yang jujur  (shiddiqun), hendaknya tidak makan, kecuali yang halal dan mengamalkan sunnah," (Ar Risalah Al Mustarsyidin : hal 216).


4 Dampak Tidak Langsung:
1.  Haji dari Harta Haram Tertolak
Rasulullah saw bersabda, "Jika seorang keluar untuk melakukan haji dengan nafaqah haram, kemudian ia mengendarai tunggangan dan mengatakan, "Labbaik, Allahumma labbaik!" Maka yang berada di langit menyeru, "Tidak labbaik dan kau tidak memperoleh kebahagiaan! Bekalmu haram, kendaraanmu haram dan hajimu mendatangkan dosa dan tidak diterima." (HR At Thabrani).

2. Sedekahnya ditolak
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mengumpulkan harta haram, kemudian menyedekahkannya, maka tidak ada pahala, dan dosa untuknya." (HR Ibnu Huzaimah)

3. Shalatnya tidak diterima
Dalam kitab Sya'bul Imam disebutkan, " Barangsiapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham di antaranya uang haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama pakaian itu dikenakan." (HR Ahmad)

4. Silaturrahminya sia-sia
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mendapatkan harta dari dosa, lalu ia dengannya bersilaturahim (menyambung persaudaraan) atau bersedekah, atau membelanjakan (infaq) di jalan Allah, maka Allah menghimpun seluruhnya itu, kemudian Dia melemparkannya ke dalam neraka. Lalu Rasulullah saw bersabda, " Sebaik-baiknya agamamu adalah al-wara' (berhati-hati)." (HR Abu Daud).

Sumber: Hidayatullah

Wednesday 13 March 2013

Pengertian Sukses dalam Islam

Banyak sekali pendapat ulama yang mendefinisikan arti kesuksesan dan kebahagiaan. Salah satunya adalah pendapat yang dikemukakan oleh seorang pemikir islam, Ibrahim bin Hamd al Quayyid.

Menurut beliau kebahagiaan adalah kondisi jiwa yang terdiri dari perasaan tenang, damai, ridha terhadap diri sendiri, dan puas dengan ketetapan Allah. Sedangkan kesuksesan adalah tercapainya berbagai prestasi dan tujuan tertentu, baik dalam hal agama maupun dunia.

Pengaruh kebahagiaan akan tampak secara jelas dalam kehidupan seseorang baik pada tingkat individu, masyarakat, karir, ataupun profesi. Bahkan kodisi kebahagiaan adalah masa yang tepat untuk melahirkan berbagai kesuksesan.  Karena orang yang berbahagialah yang sangat tertarik untuk sukses.

Berbeda dengan orang yang tidak bahagia, mungkin dia cenderung putus asa dan pesimis dengan masa depan.  Walaupun dia sukses secara dunia tapi belum tentu dia bahagia. Sehingga kesuksesan itu akan menjadi bumerang bagi dirinya dan bisa jadi akan menghancurkannya.

Oleh karena itu, seorang ahli hikmah mendefinisikan pengertian bahagia dan sukses sebagai berikut. “Kesuksesan adalah keberhasilan dalam mencapai apa yang anda kehendaki. Sedangkan kebahagiaan adalah menikmati apa yang anda capai.“

Bagi orang islam kebahagiaan yang hakiki hanya diperoleh dengan keimanan kepada Allah. Semua itu bisa diraih dan didapat dengan memaksimalkan fungsi kita sebagai manusia, yaitu untuk mengabdi kepada Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS.51:56)  Hanya dengan terus meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah-lah kebahagiaan akan kita raih.

Ajaran islam datang justru untuk memberitahukan kepada manusia cara meraih kebahagiaan. Kalau kita mengikuti ajaran islam insya Allah kita akan bertemu dengan kebahagiaan sejati. Bukan hanya kebahagiaan dunia yang sementara. Jadi inti kebahagian menurut Ibrahim bin Hamd al Quayyid adalah penguasaan  terhadap makna ibadah dan memahaminya dengan pemahaman yang sempurna, komprehensif, dan lengkap kemudian menerapkan pemahaman itu dalam kehidupan. Sedangkan ketidakbahagiaan adalah jauhnya kita dari pemahaman itu dan tunduk kepada hawa nafsu, syahwat, undang-undang dan sistem yang dibuat oleh manusia yang jauh dari ajaran agama islam.

Salah satu bentuk kesuksesan kita bila ditinjau dari hubungan dengan Tuhan adalah, kesuksesan dalam memelihara shalat 5 waktu. Sedangkan kesuksesan  dalam hubungan dengan masyarakat adalah kesuksesan dalam memelihara hubungan silaturahmi, mendidik anak, dan hubungan suami istri. Kesuksesan di bidang profesi bisa jadi sukses dalam meraih materi, ijazah dalam pendidikan, dan kesuksesan dalam meraih jenjang karir.

Ibrahim bin Hamd al Quayyid juga memaparkan metode dalam meraih kebahagiaan :
1.  Manusia harus memiliki target yang jelas dan terarah dalam hidupnya. Kemudian menyusun langkah-langkah strategis untuk mencapainya.
2. Manusia harus mampu mengelola dan mengatur dirinya sendiri, mendisiplinkan diri, serta mengorganisasi urusan-urusannya.
3. Meningkatkan etos kerja dan menghindari dari perbuatan sia-sia seperti menghabiskan waktu, boros, dan melakukan hal yang tidak bermanfaat.
4. Seseorang harus memiliki intelektual yang baik sehingga dengan itu bisa membantunya dalam menjalani kehidupan.
5.  Manusia harus memiliki kecapakan sosial agar dia bisa berhubungan dan bersosialisasi dengan manusia lainnya.
6. Menghormati diri sendiri, percaya diri, serta, berpikir positif terhadap segala kejadian.
7. Memiliki kepekaan terhadap lingkungan, masyarakat, dan orang lain serta meningkatkan etika terhadap masyarakat lainnya.
8. Mampu mengembangkan diri dan bakatnya dalam memahami kondisi masyarakat serta berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain.
9. Meningkatkan adab yang mulia dan menjadikan itu sebagai bekalnya dalam menjalani kehidupan dan berhubungan dengan orang lain.
10. Terus meningkatkan pencapaian target dan hasil pekerjaannya.
11.Menguasai berbagai keahlian, kemampuan memecahkan masalah,  serta mampu menyikapi kegagalan dengan baik.
12.Memelihara kesehatan rohani, akal, dan jasmani serta bisa menikmati hidupnya. 


Sunday 10 March 2013

Hilangkan Prasangka Buruk

Ketika jaman sudah mendekati akhirnya, semakin banyak saja hal buruk yang muncul dalam setiap kehidupan, antara lain seperti berprasangka buruk, ghibah atau bergunjing, dan memata-matai kehidupan orang lain, sehingga orang-orang yang bersikap seperti ini dapat melebihi kekuasaan Allah, Nauzubillahiminzalik.

Berprasangka buruk, dsb itu membuat hati seseorang jadi semakin mengeras, hanya taubat kepada Alloh sajalah yang bisa melembutkannya.

Ayat Alquran dan Hadist berikut tentang larangan prasangka buruk:

Al Baqarah : 263
Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. 2:263).

Al Israa’ : 53
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku:”hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. 17:53).

Al Hujuraat: 10
Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. 49:10).

Al Hujuraat: 11
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. 49:11).

Al Hujuraat: 12
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 49:12).

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Hindarilah oleh kamu sekalian berburuk sangka karena buruk sangka adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kamu sekalian saling memata-matai yang lain, janganlah saling mencari-cari aib yang lain, janganlah kamu saling bersaing (kemegahan dunia), janganlah kamu saling mendengki dan janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling bermusuhan tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. (Shahih Muslim No.4646)

Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, dia tidak boleh menzaliminya dan menghinakannya. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi keperluannya. Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat nanti. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.4677)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah orang kuat itu dengan menang bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah. (Shahih Muslim No.4723)
Dari Abi Hamzah Anas bin Malik ra. pelayan Rasulullah saw dari Nabi saw telah berkata: “Tidak sempurna iman seseorang diantaramu hingga mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”
(Bukhari – Muslim)

Dari Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah lebih suka menerima taubat seorang hamba-Nya melebihi kesenangan seorang yang menemukan kembali tiba-tiba untanya yang telah hilang daripadanya di tengah hutan.”
(Bukhari – Muslim)

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah saw lalu bertanya, “Ya Rasulullah, sedekah manakah yang lebih besar pahalanya? Rasulullah saw menjawab, “Bersedekah dalam keadaan sehat sedang engkau amat sayang kepada harta tersebut, takut miskin dan mengharapkan kekayaan. Oleh sebab itu jangan menunda-nunda sehingga apabila ruh (nyawa) sudah sampai di tenggorokan (hampir mati) lalu engkau berwasiat untuk si fulan sekian, untuk si fulan sekian.”
(Bukhari – Muslim)

Sumber

Friday 8 March 2013

Korupsi Dalam Pandangan Islam


Persoalan korupsi adalah hal mendasar yang dirasakan oleh bangsa Indonesia dari awal kemerdekaan sampai hari ini dan mungkin sampai kapan. Permasalahn korupsi di negeri ini sudah sedemikian kronisnya, sehingga belum ada obat yang mujarab untuk menyembuhkannya. Upaya pemberantasan koruspi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama ini rasaya membuat hati menjadi miris, dan terkesan lamban. Berbagai kebijakan telah dilakukan, tetapi tetap saja penyakit ini malah menjadi budaya yang menggorogoti negeri ini. 

Sangat ironis memang, melihat budaya korupsi begitu besarnya menghinggapi negeri Indonesia ini. Padahal Indonesia adalah negeri dengan penganut muslim terbesar di dunia, namun sayang mental masyarakat muslimnya justru terjerumus terhadap perilaku yang justru menghancurkan reputasi pribadi dan negerinya sendiri. 

Islam dan agama mana pun tak sedikit pun mengajarkan perilaku korupsi. Islam adalah bagian dari system yang rahmatan lil alamin yang teruji di setiap zaman. Namun, sayang perilaku mental buruk manusia Islam yang tidak berlandaskan asas Islam itu sendiri yang akhirnya menjerumuskan manusianya ke ambang kemerosotan moral dan kehinaan melalui tindak pidana korupsi. Kita bisa melihat bagaimana negara dengan mayoritas muslim seperti Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Iraq memiliki tingkat korupsi yang tinggi menurut Global Corruption Index dan Tranparancy Internasional Index rata-rata di atas tujuh (limit 1-10). Walaupun kita tidak bisa kemudian mengaitkan bahwa korupsi identik dengan agama tertentu, tetapi korupsi dapat teratasi melalui mental masing-masing individu sebuah masyarakat dan tatanan hukum yang jelas dan tegas, yang diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Dan Islam memiliki nilai-nilai itu semua, sehingga pada dasarnya ketika manusia muslim mampu mempraktekkan nilai-nilai ajaran agamanya, maka secara tidak langsung seorang muslim mampu mencegah dirinya dari kecurangan perbuatan dan perilaku korupsi yang merugikan banyak pihak. 
Budaya korupsi ini sudah terjadi sepanjang peradaban umat manusia. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa korupsi merupakan fenomena kebudayaan manusia yang cukup tua. Barang kali hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Paling tidak dapat diperkirakan bahwa fenomena korupsi sudah muncul dalam sejarah peradaban manusia, sejak manusia itu mengenal sistem hidup bersama yang terorganisir. 

Dalam sejarah Islam, praktik korupsi juga telah ditemukan sejak periode yang relatif dini, setidaknya beberapa kitab Hadis menyebutkan antara lain; Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi dan Musntad Imam Ahmad. Sebagaimana diketahui masyarakat Islam di zaman Nabi saw.. khususnya pada periode Madinah, telah menjadi suatu masyarakat yang terorganisir secara rapi, bahkan dinyatakan bahwa Madinah sendiri merupakan sebuah Negara kota yang dilengkapi dengan sebuah konstitusi, yang belakangan dikenal dengan Konstitusi Madinah. Itu berarti di sana telah terdapat suatu struktur kekuasaan dan adanya kekayaan publik untuk mengelola dan mengenai kepentingan penyelenggaraan kekuasaan itu. Dengan demikian, dapatlah dibuat suatu hipotesis bahwa dalam masyarakat tersebut tentu ada korupsi dalam bentuk tertentu, walaupun hanya kecil. 

Bilamana kita mempelajari rekaman-rekaman yang mencatat sejarah Islam awal, kita melihat bahwa isu korupsi muncul pada periode Madinah awal. Dalam hal ini, ditemukan sebuah riwayat bahwa dalam Perang badar tahun 2 H. terjadi korupsi, yaitu raibnya sehelai beludru merah rampasan Perang yang diperoleh dari kaum Musyrikin. Tetapi ada pula riwayat yang menerangkan bahwa yang hilang itu adalah pedang. Laporan mengenai hilangnya beludru merah dalam Perang Badar ini ditemukan dalam beberapa sumber orisinil berikut: Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi. Dalam Sunnan al-Tirmidzi ditegaskan: 

”Telah menyampaikan kepada kami Qutaibah: telah menyampaikan kepada kami Abdul Wahid Ibn Ziyad dari Khusaif (dilaporkan bahwa ia berkata): Miqsan telah menyampaikan kepada kami seraya berkata: Ibnu Abbas mengatakan: Ayat ini ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ turun mengenai kasus beludru merah yang hilang pada waktu Perang Badar. Beberapa orang mengatakan: Barangkali Rasulullah SAW. mengambilnya, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ hingga akhir ayat (HR. Tirmidzi).” maksud ayat ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ (‘Tiada seorang Nabi akan melakukan gulul [korupsi]”) 

Peristiwa hilangnya beludru merah seperti tersebut dalam sumber di atas dinyatakan sebagai sebab turunnya ayat 161 Ali-Imran : 

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Al-Imran: 161) 

Penolakan tegas pada ayat ini yang menyatakan bahwa Nabi tidak mungkin berkhianat dan tidak mungkin Nabi SAW melakukan tindak korupsi datang langsung dari Allah. Penegasan ini menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa sedangkan Rosulullah adalah seorang yang paling mulia, memiliki tabiat yang amanah, adil dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang tidak pantas, maka tidak mungkin pribadi yang agung itu melakukan tindakan yang sangat buruk dan memalukan. 

Imam Ar-Razi, setelah beliau menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, ia mengatakan: “Sesungguhnya tindak khianat ini haram hukumnya bagi siapa saja.” Pengkhususan penolakan terhadap pribadi Rosulullah mempunyai faedah, yaitu jika seorang yang melakukan perbuatan ini adalah orang yang mulia, maka berlaku khianat adalah sesuatu yang sangat buruk bagi dirinya.” 
Kemudian Allah mengancam siapa saja yang melakukan tindak kriminal ini dengan pembalasan yang setimpal: “kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal”. 

Rosulullah bersabda: 
Rosulullah bersabda: “Hai manusia, barang siapa yang mejalankan tugas untuk kami, lalu dia menyembunyikan dari kami barang sekecil jarum atau lebih, maka apa yang disembunyikannya itu adalah kecurangan (korupsi) yang kelak akan dibawa pada hari kiamat.” (HR. Muslim dan Ahmad) 
Korupsi dalam Perang Khaibar 

Khaibar, sebuah perkampungan Yahudi yang ditaklukkan oleh Rasulullah SAW. pada tahun 6 H. di sini kita menemukan bentuk korupsi yang riil, meskipun jumlahnya kecil. Ada dua kasus korupsi di Khaibar yang dilaporkan dalam beberapa kitab Hadis. Pertama, peristiwa kematian seorang laki-laki yang melakukan korupsi (gulul) di Khaibar pada waktu penaklukan daerah tersebut, dan kedua, kasus kematian seorang budak bernama Mid’am yang juga melakukan korupsi dan kasus korupsi tali sepatu. Kasus pertama dilaporkan dalam beberapa Hadis di antaranya adalah versi Ahmad Ibn Hambal sebagai berikut: 

Yahya Ibn Sa’id telah menyampaikan kepada kami dari Yahya Ibn Sa’id Ibn Hayyan, dari Muhammas Ibn Yahya, dari Abi ‘Amrah, dari Zaid Ibn Khalid al-Juhani bahwa seorang sahabat Nabi dari meninggal pada waktu penaklukan Khaibar, maka para sahabat melaporkan hal itu kepada Nabi SAW.. Lalu beliau bersabda: “Salatkanlah kawanmu itu”, maka berubahlah raut wajah orag-orang karena sabda itu.dan Nabi bersabda: “Rekanmu itu telah melakukan gulul dalam Perang”. Maka kamipun memeriksa barang-barangnya, lalu kami temukan manik-manik orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham (HR. Ahmad) 

Hadis ini merekam sebuah kasus korupsi kecil yang dilakukan oleh salah seorang sahabat yang ikut dalam penaklukan Khaibar. Tidak ada catatan tentang nama orang tersebut. Hanya saja dalam beberapa versi dari Hadis bersangkutan disebutkan bahwa ia berasal dari Bani ‘Asyja’. Dalam kasus ini korupsi diberi hukuman moral, yaitu Rasulullah saw.. tidak ikut menyalatkan jenazahnya; beliau menyuruh sahabatnya saja yang menyalatkannya. 

Kasus kedua, dari korupsi di Khaibar adalah korupsi mantel dan korupsi tali sepatu. Korupsi mantel dilakukan oleh Mi’dam, seorang budak yang mengikuti perjalanan Nabi saw. ke Wadi al-Qura beberapa waktu setelah penaklukan Khaibar. Ia terkena tembakan anak panah misterius di Wadi al-Qura, ketika hendak menurunkan barang-barang bawaan Rasulullah dari untanya sehingga meninggal dunia. Para sahabat yang melihat kejadian itu mengatakan ‘semoga ia masuk surga.’ Namun Nabi SAW. menyanggah dan menerangkan, bahwa ia pernah melakukan korupsi mantel pada waktu penaklukan Khaibar dan mantel yang dikorupsi itu akan membakarnya di neraka kelak. Korupsi tali sepatu pada waktu penaklukan Khaibar dilakukan oleh salah seorang yang ikut dalam perjalanan ke Wadi al-Qura tersebut. Identitasnya secara lebih jelas tidak ada informasinya. Ketika mendengar pernyataan Rasulullah saw. mengenai mantel yang dikorupsi oleh Mi’dam dapat menjadi penyebab ia masuk neraka, lelaki itu buru-buru memberikan tali pengikat sepatu yang dikorupsinya pada waktu penaklukan Khaibar kepada Rasulullah saw. Teks Hadis tersebut dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut: 

Ismail telah menyampaikan kepada kami, ia berkata Malik telah menyampaikan kepadaku, dari Saur Ibn Zaid ad-Dili, dari Abi al-Ghais bekas budak Ibn Muti’, dari Abu Hurairah (bahwa) ia berkataa: Kami keluar bersama Rasulullah SAW. pada waktu penaklukan Khaibar, kami tidak memperoleh rampasan Perang berupa emas dan peran, yang kami peroleh adalah benda tak bergerak, pakaian dan barang-barang dan seorang lelaki dari Bani ad-Dubaib bernama Rifa’ah Ibn Zaid menghadiahi Rasulullah SAW. seorang budak bernama Mi’dam. Rasulullah SAW. berangkat menuju Wadi al-Qura, sehingga ketika ia sampai ke Wadi al-Qura itu pada saat Mi’dam emnurunkan barang-barang bawaan Rasulullah SAW. tiba-tiba sebuah panah misterius (mengenai Mi’dam) dan menyebabkan ia meninggal. Maka orang-orang (yang melihat) mengatakan: Semoga ia masuk sorga. Maka Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak! Demi Tuhan yang diriku berada di tangannya, sesungguhnya mantel yang diambilnya pada waktu penaklukan Khaibar dari rampasan Perang yang belum dibagi akan menyulut api neraka yang akan membakarnya.” Ketika orang-orang mendengar pernyataan Rasulullah itu, seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. membawa seutas tali sepatu atau dua utas tali sepatu (keraguan dari rawi). Nabi SAW. lalu mengatakan: seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas talipun akan menjadi api neraka (seandainya tidak dikembalikan). (HR. Bukhari) 

Dalam Hadis ini, seperti disinggung terdahulu, terdapat korupsi yang jumlahnya kecil; mantel dan tali sepatu. Namun para ahli Hadis menegaskan bahwa Hadis ini menekankan beratnya dosa korupsi. Korupsi dalam Hadis ini dapat dikategorikan sebagai korupsi otogenik, yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri melalui penggelapan kekayaan publik. Dalam kasus ini para koruptor menggelapkan harta rampasan Perang (ghanimah) dan tidak melaporkannya kepada Nabi Saw. 

Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa hadiah yang diterima pejabat dari masyarakat dipandang sebagai salah satu bentuk korupsi dan tidak boleh diterima. Yang dimaksud dengan hadiah di sini menurut pensyarah Hadis dan ulama fiqih adalah pemberian yang diterima seorang pejabat atau pegawai (petugas) yang terkait atau patut diduga terkait jabatan. An-Nawawi (w. 676 H/ 1277 M) menyatakan, “dalam Hadis Nabi SAW. menjelaskan, sebab diharamkannya menerima hadiah (pemberian), yaitu keterkaitannya dengan jabatan 

Dari Tsa'ban (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW. melaknat pelaku, penerima, dan perantara risywah, yaitu orang yang menjadi penghubung di antara keduanya (HR. Ahmad) 

Dalam khasanah hukum Islam, ada keteladanan lain yang layak dicontohkan. Di zaman Nabi, ada wanita ningrat dari bani Makhzum mencuri sehingga orang Quraisy enggan menetapkan hukuman. Nabi mengecam keras. "Orang-orang sebelummu binasa adalah karena jika ada seseorang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membebaskannya, dan jika ada orang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya." 
Jadi berbicara tentang hujjah dalam hal ini umat Islam di Indonesia mempunyai ladasan kuat untuk tidak berbuat korupsi, apa pun bentuk dan jenisnya. Karena dalam agamanya nyata dan jelas bahwa hal itu dilarang, walaupun korupsinya sesuatu yang amat kecil. Kerena akibatnya sangat besar sekali baik di mata manusia atau pun di mata Allah swt. 

Dari berbagai riwayat diatas kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran dalam berprilaku sebagai seorang muslim. Islam mendidik kaum muslimin dengan pendidikan yang menakjubkan, ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits nabawi yang mulia ini telah menunaikan tugasnya dalam mendidik kaum muslimin. Sehingga membuahkan hasil yang sangat luar biasa, membentuk masyarakat yang bersifat amanah, menghindari sesuatu yang meragukan kehalalannya, merasa benci dan jijik terhadapat tindak korupsi dalam bentuk apapun. 

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam kitab sejarahnya, Tarikh At-Thabari, beliau menuliskan, “Ketika kaum muslimin singgah di Madain dan mengumpulkan barang-barang rampasan yang belum dibagi, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang datang menyerahkan haknya kepada pemilik barang. Maka, berkatalah pemilik barang itu dan orang-orang yang bersamanya, “Kami tidak pernah melihat orang seperti ini, tidak ada yang menyamainya dan menandinginya di sisi kami”. 
Orang-orang bertanya, “Apakah Anda mengambil sesuatu darinya?” Dia menjawab, “Ingatlah! Demi Allah, seandainya bukan karena Allah niscaya aku tidak akan membawanya kepada Anda?” 

Maka mereka mengerti bahwa orang ini adalah orang yang istimewa, lalu mereka bertanya, siapakah Anda? Dia menjawab, “Tidak! Demi Allah aku tidak mau memberitahukan kepada kalian, nanti kalian memujiku, dan aku tidak mau memberitahukan kepada orang lain, nanti mereka menyanjungku. Akan tetapi, aku memuji Allah dan aku ridho dengan pahala-Nya.” 
Lalu mereka mengutus seseorang untuk membuntutinya hingga sampai kepada teman-temannya, lalu ia menanyakan kepada mereka tentang orang ini, ternyata dia adalah Amir bin Abdi Qais.” 
Hampir-hampir kisah tentang kejujuran dan ketinggian akhlak yang telah dicontohkan oleh generasi terdahulu dianggap dongeng belaka. Pada saat zaman sekarang ini cukup sulit didapati orang-orang seperti itu. Namun, orang-orang yang memiliki kepribadian mulia itu masih ada, dan insya Allah dalam jumlah yang tidak sedikit. 

Ustadz Sayyid Qutb mengatakan: “Begitulah seharusnya kehidupan nyata seorang muslim, dan alam akhirat begitu nyata dalam perasaannya, seakan-akan dia melihat wujud dirinya seperti itu di hadapan Rabbnya dan nabinya. Oleh karena itu, ia menjaga dirinya dan merasa takut kalau sampai mengalami keadaan seperti itu. Begitulah rahasia takwa dan rasa takutnya. Maka akhirat dirasakan sebagai sesuatu yang nyata yang ditempuh di dalam hidupnya, bukan sekedar ancaman yang masih jauh masa terjadinya. Dia merasa yakin, tanpa dicampuri keraguan sedikitpun, bahwa setiap orang akan mendapatkan pembalasan secara sempurna dari semua yang dilakukannya, sedang mereka tidak dianiaya sedikitpun.” 
Wallahu a’lam bishawab.