”Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras dalam hukuman-Nya.”
Sebagai makhluk sosial,
manusia tak bisa hidup sendirian. Meski segalanya ia miliki: harta benda yang
berlimpah sehingga setiap apa yang ia mau dengan mudah dapat terpenuhi,
tetapi jika ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan
kesepian pula. Kebahagiaan pun mungkin tak pernah ia rasakan.
Lihat saja betapa merananya
(nabi) Adam ketika tinggal di surga. Segala kebutuhan yang ia perlukan
disediakan oleh Tuhan. Apa yang ia mau, saat itu juga dapat dinikmatinya.
Tetapi lantaran ia tinggal sendirian di sana , ia merasa kesepian. Segala yang
di sediakan oleh Sang Pencipta bak terasa hampa menikmatinya.
Dalam kesendirian yang
diselimuti rasa kesepian itu Adam berdo’a pada Tuhan agar diberikan seorang
teman. Allah pun mengabulkannya. Maka sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an,
Allah pun menciptakan Hawa (Eva dalam Al-Kitab) untuk menemani Adam.
Sebagai makhluk social
pula manusia membutuhkan orang lain. Tak hanya sebagai teman dalam kesendirian,
tetapi juga partner dalam melakukan sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi,
social, budaya, politik maupun amal perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada
Tuhan. Di sinilah tercipta hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia
satu dengan yang lainnya.
Nah, Allah swt.
memberikan rule (kaidah/panduan)
agar dalam melakukan tolong menolong itu seyogyanya ketika kita melakukan
hal-hal yang baik, tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan maupun
budaya atau norma yang berlaku di masyarakat di mana kita tinggal.
Tentu kita prihatin
manakala membaca berita-berita di media massa maupun menyaksikan sendiri di
lingkungan kita, bahwa ada banyak orang atau kelompok justru saling bau membau,
tolong menolong dalam melakukan kebathilan. Entah itu pencurian, korupsi,
pembunuhan, penindasan, penculikan, kekerasan, pembabatan hutan, dsbg. Semuanya
dilakukan secara berjamaah. Bukankah hal ini bertentangan dengan anjuran Tuhan
sebagaimana tertuang dalam ayat di atas?
Padahal, konon, negeri
ini adalah satu negeri yang dihuni oleh mayoritas umat Islam terbesar di
belahan dunia. Bukankah ini ironi?
Setiap hari mesjid
dan mushola kian bertambah. Jamaahnya pun kian membludak. Tiap tahun
jumlah jemaah haji juga kian tak terbendung, selalu melebihi kuota.
Syi’ar-syi’a agama juga menghiasi media massa baik cetak maupun
elektronik. Bahkan piranti teknologi informasi mutakhir bernama telepon seluler
dapat kita manfaatkan sebagai media belajar agama. Apa yang kurang dari semua
itu?
Nampaknya kita memang
mesti menelaah ulang, merenungi kembali model keberagamaan kita selama ini.
Jangan sampai terjebak pada hedonisme religius, taat secara ritual, tetapi
miskin secara spiritual dan subtansial.
Sambil mencermati
kembali ayat di atas, kini saatnya, sebagai muslim Indonesia , kita belajar
untuk dapat menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia. Tentu kita semua ingin
bahwa bangunan ukhuwah
islamiyah yang sudah terbangun di antara internal umat Islam
dapat meluas menjadi ukhuwah
wathoniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan
antar sesama manusia) tanpa harus melihat asal usul, warna kulit, asal suku
bangsa.