Kesabaran
adalah landasan hidup yang kondusif bagi tumbuhnya sifat adil,
kasih-sayang, lembut. Kesabaran adalah wahana yang baik untuk
membangkitkan kecerdasan. Kesabaran juga merupakan sarana untuk meminta
pertolongan, atau cara untuk menolong diri-sendiri [self assistance]. Dan ia juga merupakan benteng yang tangguh untuk menahan berbagai macam godaan yang bisa merontokkan diri.
Dalam hidup ini kita
melihat orang yang lemah semangat. Orang yang lemah semangat adalah
orang yang lemah daya juangnya. Orang itu tak mau lagi melanjutkan
usahanya. Dia merasa tak akan bisa mendapatkan yang diinginkannya.
Kadang kita juga mengetahui orang yang berlemah hati, mudah menyerah
dalam menghadapi tantangan dalam hidup ini. Orang yang lemah hati tidak
tabah dalam menghadapi tekanan hidup. Lemah semangat tidak ada
hubungannya dengan lemah hati. Tetapi, keduanya bisa menyatu pada diri
seseorang. Nah, sabar adalah oposisi dari kedua sifat tersebut.
Jadi, orang yang
memiliki kesabaran yang tinggi, adalah orang yang tidak lemah semangat
dan tidak pula berlemah hati. Dengan kata lain, orang yang sabar adalah
orang optimistik. Dia yakin apa yang sudah direncanakannya dengan matang
itu akan diperoleh hasilnya. Orang yang sabar adalah orang yang telah
menyiapkan pekerjaannya dengan baik. Prinsip manajemen, seperti
perencanaan, pengorganisasian, aksi dan pengendalian dilakukan dengan
baik. Tak ada alasan untuk lemah hati maupun lemah semangat. Usaha
lahiriah ditopangnya dengan doa: Ya Tuhan, teguhkan hati kami dan
jadikan kami sabar dalam menghadapinya.
Ya, tapi itu kan mudah
diomongkan! Lha, kenyataannya kan sulit dilakukan. Mari kita lihat lagi
landasan untuk sampai di stasiun sabar. Bukankah kita telah melewati
stasiun takwa dasar [berupaya meninggalkan perilaku hidup yang tak benar], stasiun tobat [kembali ke hal-hal yang benar], dan wara’ [sengaja memilih sesuatu yang benar].
Pada stasiun yang pertama itu, kita sudah berusaha meninggalkan hal-hal
yang tak benar. Umumnya kita bisa lulus distasiun ini. Wujudnya, ya,
kita mencari nafkah secara halal ini. Mungkin saja ada kesalahan dan
keburukan yang kita lakukan, tapi itu bukan merupakan ‘cap’ bagi
kehidupan kita umumnya! Pada umumnya, manusia itu berusaha menjaga
keselamatan hidupnya. Mereka berada di landasan ketakwaan! Kemudian,
sebagian dari manusia di stasiun pertama ini melanjutkan perjalanannya
ke stasiun tobat. Satu langkah lebih jauh.
Pada stasiun tobat,
orang-orang berusaha hidup amar ma‘ruf nahi munkar. Hidup untuk memenuhi
apa-apa yang dipandang baik di lingkungan hidupnya. Hidup menahan diri
dari segala perbuatan yang ditolak masyarakat. Pada tahap ini
subjektivitas masih ikut berperanan. Artinya, kemakrufan itu masih
dipengaruhi oleh golongan atau kelompoknya. Di tahap ini kita belum
mampu membebaskan diri dari tekanan atau belenggu kelompok. Nurani kita
mengatakan bahwa ini sebetulnya tidak benar, tetapi kita tidak mampu
keluar dari jeratnya. Kita mengetahui bahwa kolusi itu mungkar, tapi
kita tidak mampu membebaskannya. Kita memang kembali ke jalan yang
benar. Tetapi, kotoran masih juga tersangkut. Dalam bahasa syariat
mereka sudah tidak mau berbuat kesalahan yang sama, tapi mungkin berbuat
kesalahan yang lain. Yang ini sudah mampu dihindari, tapi yang itu
masih berat. Inilah stasiun tobat!
Sebagian orang yang ada
distasiun tobat ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun wara’. Di
stasiun ini orang-orang betul-betul memilih sesuatu yang benar saja.
Mereka melihat mana warna yang hitam, putih dan yang abu-abu. Mereka
lalui yang warnanya putih saja. Yang hitam jelas ditinggalkan. Bahkan
yang abu-abu pun ditinggalkannya. Memang berat perjalanan di tahap ini!
Ini tidak berarti orang yang sudah berada pada maqam wara’ ini tidak
punya kesalahan. Ya, kesalahan mungkin tetap terjadi, tetapi itu bukan
karena pilihannya. Ia terpeleset!
Nah, ketika orang sudah
bisa memasuki stasiun sabar, maka ia berusaha meraih sifat-sifat yang
terpuji. Di dalam batinnya tumbuh rasa keadilan, senantiasa ingin ‘fair’.
Ia tak ingin mendominasi kehidupan orang lain. Ia berbagi kasih. Ia
berusaha lembut dalam pergaulan. Jika dalam tangga sebelumnya orang
bergulat dengan sikap untung-rugi, maka dalam tangga sabar ia harus
optimis untung. Ia yakin dapat keberuntungan bila ia mampu menahan
godaan. Ia yakin dapat meraih keberuntungan [bukan keun-tungan lho!],
bila semuanya dipersiapkan dengan matang. Ia jalani proses, prosedur,
dan aturan-aturannya dengan benar. Karena memahami proses, prosedur dan
aturan-atauran yang ada itu ia tak mengalami lemah semangat atau lemah
hati. Kalau gagal, tidak berarti tamat perjuangannya. Sikap optimistik
adalah bagian dari hidupnya.
Siapakah mereka yang
tidak patah semangat, tidak lemah hati dan tidak berbudi rendah itu?
Kalau zaman dulu, mereka itu adalah orang-orang yang memahami ketuhan-an
dan menyertai para nabi dalam perjuangannya.
3:146 Dan berapa
banyak nabi yang bertempur, yang disertai banyak ‘ribbi’. Mereka tak
berlemah hati terhadap apa yang mereka di jalan Allah, dan mereka pun
tak lemah semangat mereka, dan tidak pula rendah budinya. Dan Allah
mencintai orang-orang yang sabar.
Jika kita mau membaca satu ayat sebelumnya, di situ kita membaca pernyataan Tuhan. Di situ dinyatakan, “Dan
sesuatu yang berjiwa tak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan. Dan barangsiapa menghendaki ganjaran
dunia, Kami memberikan kepadanya, dan yang menghendaki ganjaran akhirat
niscaya Kami berikan kepadanya. Dan Kami akan mengganjar mereka yang
bersyukur.” Untuk menopang keteguhan hati kita, agar kita dapat
bersabar, kita harus meyakini bahwa semua yang bernyawa pasti mati.
Semua yang bernyawa pasti mati! Ini landasan kita. Kita resapkan dulu ke
dalam batin kita.
Ternyata, makhluk yang bernafas itu mati dengan izin Tuhan. Masih ingat kan arti kata “izin Tuhan”. Kata ini tidak bermakna seperti ‘kita mengizinkan’. Kata izin yang kita pergunakan sebenarnya mengandung ‘sikap otoriter kita’ kepada yang kita izini. Izin Tuhan tidak bermakna demikian. Dalam izin Tuhan terkandung “kitaban mu-ajjala” yaitu hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Suatu hukum yang objektif dan rasional. Jadi, bila ada orang yang ditusuk pisau [dan energi yang disertakan pada pisau tusuk itu lebih besar daripada orang yang ditusuk]
maka tertusuklah orang itu. Lho, kita kan menyaksikan di tv bahwa ada
orang ditusuk pisau tidak mempan! Tidak mempan karena energi pada pisau
itu lebih sedikit daripada yang ditusuk. Dalam aras objektif, semua itu
hanya permainan energi. Tak perlu heran!
Ayat 145 ini perlu diingat-ingat. Yang pertama, Allah menggantikan kata buat diri-Nya dengan ‘Kami’. Sebagaimana yang telah saya jelaskan, kata ‘Kami’
berarti Allah melibatkan atau menyertakan ciptaan-Nya untuk terwujudnya
suatu kejadian. Karena itu, dalam menempuh kehidupan ini kita juga
harus memperhatikan kehadiran objek-objek di sekitar kita. Karena
objek-objek itu bisa menjadi sarana atau wahana bagi kita dalam
merealisasikan tujuan kita. Dan apa gongnya ayat tersebut? Gongnya
adalah “barangsiapa menghendaki ganjaran [dunia atau akhirat], Kami berikan kepada dia yang menghendaki.” Tegas sekali bahwa Tuhan tidak berbuat sewenang-wenang. Setiap kali ada ayat “Tuhan menghendaki”, artinya kehendak-Nya itu diberikan kepada orang yang menghendaki. Karena itu, penutup ayat 145 adalah “Kami mengganjar orang-orang yang bersyukur”, yaitu orang yang telah memberikan nilai tambah.
Dengan memperhatikan
ayat 3:145 tersebut, kita mengetahui bahwa kesabaran itu merupakan
usaha. Kesabaran bukan semata-mata diberikan sebagai takdir, taken for granted.
Ada sejumlah energi yang didepositokan untuk mewujudkan kesabaran. Dan
berikutnya orang yang telah mendepositokan energinya untuk kesabaran itu
memperoleh pokok dan interesnya. Kloplah pemahaman “Allah beserta orang-orang yang sabar”. Inilah hukum Ilahi yang digelar di alam ini.
Pada ayat 146 disebutkan bahwa banyak nabi yang bertempur yang disertai para “ribbi”. Kata ‘ribbi’ ini biasa diterjemahkan dengan ‘orang-orang yang menyembah Tuhan’.
Tentu saja terjemahan demikian ini lemah. Terjemahan ini dapat
diartikan, orang-orang yang bertempur melawan para nabi bukanlah orang
yang menyembah Tuhan. Orang-orang yang bersama nabi pasti orang yang
menyembah Tuhan. Nyatanya tidak demikian! Di era Nabi Saw, orang-orang
kafir yang mengikat perjanjian damai bersama Nabi, bertempur bersama
Nabi. Dan, sekarang ini pun bisa kita saksikan bahwa sangat banyak
manusia penyembah Tuhan yang lemah hatinya. Jangankan untuk bertempur
melawan musuh fisiknya, untuk menghadapi tekanan hidupnya sendiri saja
tidak berdaya, sehingga hidup terombang-ambing.
Lalu, apa arti kata ribbi? Ribbi adalah mereka yang memahami makna ketuhanan. Atau, ribbi adalah manusia yang saleh [tindakannya bermanfaat/berguna bagi diri dan lingkungannya].
Orang-orang demikianlah yang menyertai para nabi dalam pertempuran di
zamanya. Karena mereka faham betul asas manfaat yang mereka lakukan,
maka mereka itu tak gentar, tak lemah hati, tak lemah semangat dalam
menghadapi pertem-puran. Para ribbi ini pun tidak berbudi rendah [lari dari pertempuran].
Para ribbi inilah yang
di ayat 3:146 itu dinamakan orang-orang yang sabar. Bukan semua pengikut
nabi yang menyertai dalam pertempuran disebut ribbi. Tetapi para nabi
dalam pertempuran disertai banyak ribbi. Orang-orang ini tak gentar,
tidak lemah hati, dan tidak pengecut dalam pertempuran. Sifat yang
dimiliki para ribbi ini adalah sifat orang-orang yang sabar. Dan ayat
ini turun setelah perang Uhud, di mana pada waktu itu pasukan Nabi
mengalami kekalahan karena ada kelompok pasukan yang terpancing harta
rampasan perang. Jadi, ayat ini memperkokoh perjuangan para ribbi pada
perang-perang yang terjadi sesudahnya.
Bila kita perhatikan ayat 3:148, maka orang-orang yang sabar ini juga disebut sebagai orang-orang yang berbuat kebajikan [muhsinin].
Dan di ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan mencintai orang-orang muhsin
ini. Dan, muhsin berasal dari kata yang sama dengan ‘ihsan’. Maka
orang-orang muhsin adalah orang-orang yang senantiasa sadar terhadap
dirinya, yang dalam bahasa hadis, adalah orang yang beribadah dan merasa
ibadahnya itu senantiasa dalam pengawasan Tuhan. Jika ditarik suatu
garis dari ayat 145 hingga 148, dapat disimpulkan bahwa orang yang sabar
adalah orang yang bersyukur, dan karena itu dia juga disebut orang yang
berbuat kebajikan. Jadi, jelas bahwa orang yang sabar bukan orang yang
pasif. Bukan orang yang sekadar menerima suatu tekanan atau
ketidakberdayaan.
Seperti yang telah dijelaskan, bersyukur tidak berarti mengucapkan ‘terima kasih’ kepada
Tuhan. Bersyukur merupakan suatu aktivitas kebajikan. Orang yang
bersyukur adalah orang yang menciptakan nilai tambah dalam kehidupan di
bumi ini. Apa yang dimaksud dengan nilai tambah [added value]?
Bertambahnya kegunaan atas sesuatu! Bila semula besi hanya digunakan
sebagai alat semacam pisau, linggis, dan cangkul, maka nilainya akan
bertambah bila besi itu dijadikan seterika listrik, kerangka mobil dan
sejenisnya. Nah, sebenarnya mereka yang menemukan mesin, motor, mobil,
pesawat udara, komputer adalah orang-orang yang bersyukur. Dan penemuan
itu terjadi berkat kesabaran mereka. Maka, marilah kita ingat QS 14:7, “La-in syakartum la-azidan nakum, wa la-in kafartum inna ‘adzabi lasyadid”, jika kamu bersyukur pasti Kami tambah kamu tetapi bila kamu kufur [menutupi kebenaran] maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih.
Dengan membuat kipas-angin kita merasakan kenyamanannya, dan bila kita
membuat AC maka lebih nyaman lagi. Tetapi bila kita tidak kreatif, tidak
mau menciptakan kipas-angin atau AC, maka sungguh gerah rasanya.
Menciptakan AC hanyalah salah satu bentuk syukur.
Bersabar = patuh kepada Allah dan Rasul + tidak bertikai
Pada Surat Al Anfal/8:46
ditegaskan bahwa orang yang sabar adalah orang yang patuh kepada Allah
dan Rasul, dan tidak bertikai dengan teman seiring. Patuh kepada Allah
dan rasul hendaknya tidak diturunkan ‘grade’-nya menjadi mematuhi
Al Quran dan Hadis. Ingat Allah bukanlah Al Quran, begitu pula
sebaliknya. Allah adalah Tuhan pencipta alam semesta. Sedangkan Al Quran
adalah salah satu Kitab Suci-Nya. Patuh kepada Allah adalah mematuhi Al
Haqq, Kebenaran. Kebenaran yang bisa kita saksikan di ufuk langit, di
bumi, di kitab suci, dan pada diri kita sendiri.
Kebenaran di ufuk langit
atau di angkasa adalah kejadian awan, angin, hujan, kilat, petir,
cahaya, dan purnama. Kita patuhi hukum-hukum-Nya sehingga kita selalu
dalam lindungan-Nya. Begitu pula hukum-hukum yang ada di bumi dan diri
kita. Segala hukum adalah kepunyaan-Nya. Karena itu mematuhi-Nya berarti
mengikuti hukum-hukum-Nya [His Law] yang ditetapkan di alam raya
ini. Allah jangan dijadikan sesembahan yang abstrak. Kalau Allah kita
abstrakkan maka itu Allah produk pikiran kita sendiri. Allah Maha Halus [wa huwa lathif],
maka kita dekati dengan kelembutan, yaitu perilaku yang lembut, penuh
kasih. Dan kita latih batin kita dengan zikir kepada-Nya. Sekarang ini
sebagian besar orang-orang Islam mematuhi Allah hanya dengan sekadar
mematuhi teks halal dan haram, dan itu yang didiskripsikan 1000 tahun
yang lalu. Sehingga ‘narkoba’ yang sebenarnya lebih haram dari
sekadar kecampuran daging babi atau minuman beralkohol, tumbuh
merajalela di banyak negeri yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini
terjadi karena mematuhi Tuhan hanya diwujudkan dengan ibadah mahdhah [ritual] dan mengikuti teks-teks halal haram.
Dalam mematuhi Rasul pun menjadi abstrak. Secara fisikal Rasul sudah tidak hadir di tengah-tengah umat manusia sekarang ini [tentu saja semenjak th 632 M].
Mematuhi Rasul tidak berarti mematuhi Hadis. Kalau mematuhi beliau
berarti mematuhi Hadis, lha bagaimana dengan generasi sebelum Hadis
ditulis! Bukhari saja baru dilahirkan pada 196 H, artinya dia baru hadir
di bumi ini setelah 186 tahun [seratus delapan puluh enam tahun] sepeninggal Rasul Saw. Lalu buat apa Hadis? Tentu saja digunakan sebagai alat atau referensi untuk memahami Al Quran.
Lalu bagaimana caranya mematuhi Rasul itu? Ingat, mematuhi tidak sama dengan ‘meniru’.
Mematuhi beliau tidak sama dengan meniru bentuk lahiriah beliau,
seperti anak-anak meniru perilaku orang dewasa. Peniruan demikian adalah
peniruan kuantitatif yaitu berapa banyak bentuk lahiriah yang kita
tiru. Jika demikian, rendah betul kualitas umat. Perilaku anak kecil dan
orang dewasa tidak ada bedanya, asal sudah bersorban, bergamis,
berjanggut, rambut dibiarkan sampai bahu, makan selalu bersama-sama
dalam satu tampah dan hanya pakai jari [bagaimana kalau makan bubur ya?]
dan lain sebagainya. Mematuhi atau mengikuti Rasul adalah meneladani
beliau. Kita teladani, bagaimana beliau bisa bersabar menghadapi tekanan
lawan, bagaimana beliau mampu menegakkan keadilan, bagaimana cara
beliau memecahkan suatu persoalan, bagaimana beliau bersifat lembut tapi
tegas, bagaimana beliau bisa ramah tapi tak dilecehkan, bagaimana
beliau menegakkan hukum dan lain-lain. Bagaimana bisa meneladani beliau?
Tentu saja dengan pendidikan yang baik, dengan meningkatkan kecerdasan [IQ, EQ dan SQ], dan dengan pematangan diri.
Dalam subtopik ini
dinyatakan bahwa sabar merupakan gabungan kepatuhan kepada Allah dan
Rasul, dan tidak bertikai. Tidak bertikai, tidak berebut kewenangan,
tidak berebut kekuasaan, tidak mau menang-menangan adalah cara untuk
membangun kesabaran. Pernyataan patuh kepada Allah dan Rasul belum
cukup, bila kita masih bertikai. Pertikaian akan memporak-porandakan
keutuhan kita. Akhirnya kita menjadi gentar dalam menghadapi tekanan
hidup, dan lemah posisi kita. Di bawah ini saya kutipkan sebuah ayat QS
8:46. Ayat ini ada di dalam Surat Al Anfal, surat yang membahas rampasan
perang. Sebagian ayat diturunkan setelah perang Badar, dan yang lain
setelah perang Uhud [terjadi 1 tahun kemudian dari perang Badar].
8:46 Wa athi-‘u l-laha wa rasulahu wa la tanaza-‘u fatafsyalu wa tadz-haba rihukum washbiru inna l-laha ma-‘a sh-shabirin.
Dan, patuhilah Allah
dan Rasul-Nya dan jangan berselisih [bertikai] agar kamu tidak lemah dan
hilang kekuatanmu. Bersabarlah! Sesungguhnya Tuhan menyertai
orang-orang yang sabar.
Di dalam Al Quran
perintah bersabar itu selalu didahului dengan kalimat berita atau
perintah. Dengan demikian kita bisa memahami apa yang dimaksud dengan
sabar. Misalnya, pada QS 3:146 pernyataan sabar didahului kalimat berita
‘mereka tak gentar, tak lemah semangat, tak berbudi rendah. Sedangkan
pada ayat barusan, pernyataan sabar didahului kalimat perintah ‘taat kepada Allah dan Rasul, dan larangan berselisih’.
Jelas, bahwa sabar adalah aksi, bersifat aktif. Sabar bukan pasifis
atau bersifat pasif. Sabar adalah usaha, ada pengerahan tenaga. Sabar
bukan diam, membiarkan sesuatu menimpa pada dirinya. Sabar bukan kalah,
tetapi menang!
Allah itu Maha Sabar!
Sebagai penutup bahasan ‘sabar’ [yang akan datang tentang zuhud], saya ambilkan asma-ul husna yang ke-99, yaitu “ash-shabur”.
Ya, Allah itu Maha Sabar! Meskipun Dia itu Maha Kuasa, tetapi untuk
menciptakan bumi yang bisa kita tempati ini perlu waktu 4,5 milyar
tahun. Ternyata penciptaan itu bukan bersifat “sim-salabim”. Tuhan sabar
dalam menciptakan. Tuhan penuhi hukum-hukum ciptaan. Tuhan menciptakan
semua ini berlandaskan 5 prinsip [yang Dia tetapkan], yaitu matematika, fisika, kimia, biologi, dan evolusi.
Dalam bahasa Al Quran dinyatakan “al-ladzi khalaqa fasawwa wa l-ladzi qaddara fahada wa l-ladzi akhraja l-mar’a faja-‘alahu ghutsa-an ahwa.” Dia yang menciptakan dan menyempurnakan [lahir sebagai orok dan tumbuh dan berkembang hingga dewasa],
Dia menetapkan kadar [potensi, ukuran, dan hukum-hukum fisika dan
kimia] pada ciptaan-Nya. Dia memberi petunjuk kepada ciptaan-Nya yang
biologis [sehingga makhluk biologis bisa mempertahankan kehidupannya]. Lalu, Dia putuskan ikatan-ikatan kimia yang ada sehingga makhluk hidup menjadi layu [tua renta] dan akhirnya punah [ghutsa-an ahwa].
Dan dalam proses penciptaan di Surat ke-87, yaitu ayat 2 ?5 itu,
tumbuhlah dari masyarakat primitif menuju masyarakat madani. Berlaku
hukum evolusi di situ. Dari manusia yang politeis menjadi manusia yang
monoteis. Demikianlah hukum evolusi bekerja. Pada akhirnya, orang yang sabar adalah orang yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Tuhan.
*Sumber: http://rt013rw035.blogspot.com/2013/01/Pemahaman-Sufisme-Tasawuf-11.html