Thursday 27 June 2013

Keutamaan Hari Jumat

HARI Jumat merupakan hari yang sangat istimewa dalam Islam. Itu sudah kita ketahui bersama. Ada banyak hal yang disebutkan hadist dalam hari Jumat ini. Berikut hadist-hadist yang menyebutkan kelebihan hari Jumat.
         Dari Abu Hurairah katanya, Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, maksudnya: “Sebaik-baik hari yang terbit matahari ialah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan pada hari itu juga dia dikeluarkan dari syurga. Pada Jum’at juga kiamat akan berlaku. Pada hari itu tidaklah seorang yang beriman meminta sesuatu daripada Allah melainkan akan dikabulkan permintaannya.” [HR Muslim]
          Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari Jum‘at adalah penghulu segala hari dan hari yang paling besar di sisi Allah Subhanhu wa Ta ‘ala yaitu hari yang lebih besar daripada hari raya Adha dan hari raya Fitrah, pada hari Jum‘at itu terdapat lima kejadian yaitu hari yang dijadikan Adam ‘alaihissalam dan Baginda di turunkan daripada syurga ke muka bumi, dan pada hari itu juga wafatnya Adam ‘alaihissalam, dan Allah mengurniakan satu saat di mana do’a-do’a dikabulkan kecuali do’a-do’a maksiat, dan hari Jum‘at juga akan terjadinya hari Kiamat.” [HR Ibnu Majah]
           Rasulullah sallallahu.’alaihi.wasallam bersabda, “Sesungguhnya harimu yang paling utama adalah hari Jum’at. Maka perbanyakkanlah shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawatmu ditunjukkan kepadaku. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami ditunjukkan kepadamu sedangkan tubuhmu telah hancur? Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam menjawab: Sesungguhnya Allah mengharamkan tubuh para Nabi bagi bumi (tidak hancur).” [HR Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah]
         Rasulullah bersabda maksudnya : “Barang siapa yang berwudhu dan kemudian dia pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, lalu mendengar dan tidak bercakap (ketika khutbah dibacakan), maka diampuni dosa-dosanya yang ada di antara hari Jum’at itu dan hari Jum’at berikutnya.” [HR Muslim]
        Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Pada hari Jum’at terdapat satu waktu, tidaklah seorang hamba Muslim memohon sesuatu kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkannya. Carilah ia di akhir waktu selepas asar.” [HR Abu Daud]
          Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang Muslim itu meninggal dunia pada hari jum’at atau pada malam Jum’at melainkan Allah menyelamatkannya dari fitnah kubur (soalan di dalam kubur).” [HR At-Tirmizi]
         Rasulullah sallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan, semuanya adalah penghapus dosa-dosa di antara kedua-duanya selagi mana dijauhi dosa-dosa besar.” [HR Muslim]

*Sumber: http://blog.student.uny.ac.id/animoonz/2013/06/08/keutamaan-hari-jumat-bagi-umat-islam/

Wednesday 26 June 2013

Islam Sebagai Rahmat Bagi Alam Semesta

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah, lihat saja sabda Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam hadis riwayat al-Imam al-Hakim, “Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”. Burung tersebut mempunyai hak untuk disembelih dan dimakan, bukan dibunuh dan dilempar. Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan? Dengan hewan saja tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia ini.

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Maka melihat keterangan di atas, seharusnya Indonesia menjadi negara yang indah, damai, dan beradab. Tapi lihat saja kenyataannya, kita tidak bisa menutup mata dan telinga dengan pemberitaan sehari-hari yang mengabarkan tentang kisah-kisah menyedihkan dan tak beradab. Mulai dari anak-anak yang melakukan pencabulan, berjudi, menghisab sabu. Remaja tawuran antar sekolah, kumpul kebo, menjadi pengedar, minum-minuman keras. Orang tua yang mencabuli anaknya sendiri, membunuh anggota keluarga sendiri, membunuh karena masalah sepele, bunuh diri, mutilasi, dan sebagainya. Sampai kepada pejabat kita yang melakukan tindak asusila, dan korupsi besar-besaran. Hampir setiap hari kejadian semacam ini keluar di pemberitaan. Sebenarnya apa yang terjadi? Di mana moral mereka? Bukankah sebagian besar dari mereka adalah muslim? Bukankah orang muslim seharusnya menjadi rahmatan lil ‘alamin?

Jika dikatakan tidak berpendidikan sepertinya tidak juga. Saya yakin kebanyakan dari mereka telah mengenyam pendidikan dasar, bahkan tidak sedikit yang sudah sarjana bahkan lebih. Lantas mengapa moral mereka bisa sebegitu hancurnya? Jawabannya adalah tidak memahami dan menjalankan ajaran Islam secara kaffah. Jika mereka tahu bahwa membunuh binatang semena-mena saja dilarang oleh Islam, mana mungkin sampai berani membunuh sesama manusia, apalagi sesama muslim. Jika mereka tahu bahwa Islam melarang untuk mencuri dan menipu dan mereka menjalankan larangan itu, mana mungkin mereka berani melakukan korupsi. Abdullah bin Umar رضي الله عنه mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda, “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya; dan orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.”

Sudah sangat jelas bagaimana islam menjelaskan bagaimana ciri orang Islam sesungguhnya.
Jika ingin merasakan Indonesia yang damai sejahtera, maka yang harus dibenahi adalah moral bangsanya, bukan sekedar pendidikan belaka. Dan pendidikan moral yang sesungguhnya, yang komplit, dan yang diperintahkan oleh pencipta manusia adalah Islam. Setiap muslim wajib untuk belajar tentang agamanya. Dengan begitu kita akan mampu menjadi khalifah sesungguhnya di bumi sesuai tujuan diciptakannya kita, yaitu menjadi rahmat bagi semesta alam. Sudah semangatkah kita untuk belajar dan mengamalkan Islam? Atau kita malah lebih semangat untuk mempelajari dan mengikuti budaya Jepang atau budaya Barat dari Islam? Seberapa banyak buku Islam yang telah kita baca? Mana banyaknya dengan buku-buku selain itu?

*Sumber: http://saidalfaraby.wordpress.com/2009/12/29/islam-adalah-agama-rahmatan-lil-alamin/

Tuesday 25 June 2013

Hikmah Ramadhan

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu,supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

PUASA menurut syariat ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (seperti makan, minum, hubungan kelamin, dan sebagainya) sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, dengan disertai niat ibadah kepada Allah, karena mengharapkan ridha-Nya dan menyiapkan diri guna meningkatkan takwa kepada-Nya.

RAMHADAH bulan yang banyak mengandung hikmah di dalamnya. Alangkah gembiranya hati mereka yang beriman dengan kedatangan bulan Ramadhan. Bukan saja telah diarahkan menunaikan ibadah selama sebulan penuh dengan balasan pahala yang berlipat ganda, malah di bulan Ramadhan Allah telah menurunkan kitab suci Al-Quran yang menjadi petunjuk bagi seluruh manusia dan untuk membedakan yang benar dengan yang salah.

Puasa Ramadhan akan membersihkan ruhani kita dengan menanamkan perasaan sabar, kasih-sayang, pemurah, berkata benar, ikhlas, disiplin, terthindar dari sifat tamak dan rakus, percaya pada diri sendiri, dan lain-lain. Meskipun makanan dan minuman itu halal, kita mengawal diri kita untuk tidak makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, karena mematuhi perintah Allah. Walaupun isteri kita sendiri, kita tidak mencampurinya diketika berpuasa demi mematuhi perintah Allah.

Ayat puasa itu dimulai dengan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman" dan disudahi dengan "Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa."Jadi jelaslah bagi kita puasa Ramadhan berdasarkan keimanan dan ketakwaan. Untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, kita diberi kesempatan selama sebulan Ramadhan, melatih diri kita, menahan hawa nafsu kita dari makan dan minum, mencampuri isteri, menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia, seperti berkata bohong, membuat fitnah dan tipu daya, merasa dengki dan khianat, dan berbagai perbuatan jahat lainnya.Rasulullah Saw. bersabda:

"Bukanlah puasa itu hanya sekedar menghentikan makan dan minum, tetapi puasa itu ialah menghentikan pembicaraan sia-sia dan kata-kata kotor."  (HR. Ibnu Khuzaimah).
 
Beruntunglah mereka yang dapat berpuasa selama bulan Ramadhan, karena puasa itu bukan saja dapat membersihkan ruhani manusia, tapi juga akan membersihkan jasmani manusia itu sendiri, puasa sebagai alat penyembuh yang baik. Semua organ pada tubuh kita senantiasa digunakan, boleh dikatakan organ-organ itu tidak istirahat selama 24 jam. Alhamdulillah, dengan berpuasa kita dapat mengistirahatkan organ pencernaan kita lebih kurang selama 12 jam setiap harinya. Oleh karena itu, dengan berpuasa organ dalam tubuh kita dapat bekerja dengan lebih teratur.

"Makan dan minumlah kamu dan janganlah berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf: 31)
Nabi Saw. juga bersabda: "Kita ini adalah kaum yang makan bila lapar, dan makan tidak sampai kenyang."

Allah berfirman: "Pada bulan Ramadhan diturunkan Al-Quran
petunjuk untuk manusia dan penjelas keterangan dari petunjuk kebenaran
itu, dan yang memisahkan antara kebenaran dan kebathilan. Barangsiapa menyaksikan (bulan) Ramadhan, hendaklah ia mengerjakan puasa." (QS. Al-Baqarah: 185)

Sunday 23 June 2013

Kekuatan Doa

Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan bahwa taqdir yang Allah ta’aala telah tentukan bisa berubah. Dan faktor yang dapat mengubah taqdir ialah doa seseorang.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ (الترمذي)

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Tidak ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065)


Subhanallah…! Betapa luar biasa kedudukan do’a dalam ajaran Islam. Dengan do'a seseorang bisa berharap bahwa taqdir yang Allah ta’aala tentukan atas dirinya berubah. Hal ini merupakan sebuah berita gembira bagi siapapun yang selama ini merasa hidupnya hanya diwarnai penderitaan dari waktu ke waktu. Ia akan menjadi orang yang optimis. Sebab keadaan hidupnya yang selama ini dirasakan hanya berisi kesengsaraan dapat berakhir dan berubah. Asal ia tidak berputus asa dari rahmat Allah ta’aala dan ia mau bersungguh-sungguh meminta dengan do’a yang tulus kepada Allah ta’aala Yang Maha Berkuasa.



قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah ta’aala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS Az-Zumar 53-54)

Demikianlah, hanya orang yang tetap berharap kepada Allah ta’aala saja yang dapat bertahan menjalani kehidupan di dunia betapapun pahitnya taqdir yang ia jalani. Ia akan senantiasa menanamkan dalam dirinya bahwa jika ia memohon kepada Allah ta’aala dalam keadaan apapun, maka derita dan kesulitan yang ia hadapi sangat mungkin berakhir dan bahkan berubah.


Sebaliknya, orang yang tidak pernah kenal Allah ta’aala dengan sendirinya akan meninggalkan kebiasaan berdo’a dan memohon kepada Allah ta’aala. Ia akan terjatuh pada salah satu dari dua bentuk ekstrimitas. Pertama, ia akan mudah berputus asa. Atau kedua, ia akan lari kepada fihak lain untuk menjadi sandarannya demi merubah keadaan. Padahal begitu ia bersandar kepada sesuatu selain Allah ta’aala –termasuk bersandar kepada dirinya sendiri- maka pada saat itu pulalah Allah ta’aala akan mengabaikan orang itu dan membiarkannya berjalan mengikuti situasi dan kondisi yang tersedia. Sedangkan orang tersebut dinilai sebagai seorang yang mempersekutukan Allah ta’aala dengan yang lain. Berarti orang tersebut telah jatuh ke dalam kategori seorang musyrik...!

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS Al-Mu’min 60)

Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa seorang muslim tidak boleh pernah berhenti meminta kepadaNya, karena sikap demikian merupakan suatu kesombongan yang akan menjebloskannya ke dalam siksa Allah ta’aala yang pedih. Maka Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدْعُ اللَّهَ غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Barangsiapa tidak berdo’a kepada Allah ta’aala, maka Allah ta’aala murka kepadaNya.” (HR Ahmad 9342)

Saudaraku, janganlah berputus asa dari rahmat Allah ta’aala. Bila Anda merasa taqdir yang Allah ta’aala tentukan bagi hidup Anda tidak memuaskan, maka tengadahkanlah kedua tangan dan berdo’alah kepada Allah ta’aala. Allah ta’aala Maha Mendengar dan Maha Berkuasa untuk mengubah taqdir Anda. Barangkali di antara do’a yang baik untuk diajukan sebagai bentuk harapan agar Allah ta’aala mengubah taqdir ialah sebagai berikut:

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ

“Ya Allah, perbaikilah agamaku untukku yang mana ia merupakan penjaga perkaraku. Perbaikilah duniaku yang di dalamnya terdapat kehidupanku. Perbaikilah akhiratku untukku yang di dalamnya terdapat tempat kembaliku. Jadikanlah hidupku sebagai tambahan untukku dalam setiap kebaikan, serta jadikanlah matiku sebagai istirahat untukku dari segala keburukan.” (HR Muslim 4897)






*Sumber: http://mutiaraakhlak.blogspot.com/2012/02/hanya-kekuatan-doa-yang-dapat-mengubah.html

Wednesday 19 June 2013

Syukur Nikmat Orang Shaleh

Diantara sekian banyak nabi yang diberi mukjizat yang fenomenal adalah Nabi Sulaiman. Allah Swt telah memberikan kepada Nabi Sulaiman apa yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelum dan sesudahnya. Dialah seorang raja yang menguasai wilayah terluas dan memiliki kekayaan yang melimpah. Namun bagi Nabi Sulaiman, mensyukuri nikmat Allah adalah wajib, dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya juga wajib. Sulaiman pun menghadap kepada Allah agar diajari bersyukur dan diberi petunjuk untuk selalu memuji kepada-Nya. Nikmat menjadi abadi dengan syukur, dan hilang dengan kufur.

Dalam rangka menjaga nikmat agar selalu abadi dan diberi tambahan kebaikan oleh Allah Swt, Sulaiman pun memohon kapada-Nya petunjuk agar selalu dibimbing untuk beramal saleh. "Dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai. "

Dalam hal kesalehan, manusia dibagi kepada dua bagian; pertama, hamba yang ditunjuki, dibimbing dan diarahkan untuk beramal saleh. Kedua, hamba yang ditarik oleh Allah Swt kepada

agamanya, lalu diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Sulaiman telah memohon kepada Allah Swt agar diberi petunjuk dan dijadikan sebagai orang-orang yang saleh.

Dari sini kita dapat mengetahui dan mempelajari bagaimana kita bersyukur kepada Allah Swt serta memuji dan mengakui nikmat-nikmat-Nya yang telah diberikan kepada kita semua. Maka, jika kita menginginkan ketenangan dalam diri serta ketenteraman dalam hidup, kita tidak boleh lalai bersyukur kepada Allah Swt.

Ketahuilah, amal saleh yang senantiasa dipadukan dengan iman, itulah hakikat keberuntungan di dunia dan kesuksesan di akhirat. "Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. " (QS. Fushshilat [41]: 31)

Rasulullah selalu membimbing umatnya melalui nasihat- nasihatnya. Antara lain dengan berdoa dan memohon ampunan: Allaahummaghfir lii dzanbii wawasi’lii fii daarii wa baariklii fiimaa razaqtanii.

" Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, luaskanlah tempat tinggalku, dan berkatilah rezeki yang Engkau berikan kepadaku." (HR. At- Tirmidzi)

Hendaklah tenggorokan selalu basah dengan dzikir kepada Allah Swt, hati menjadi tenang dengan banyak istighfar. Tidaklah bahaya itu terangkat kecuali dengan pertolongan Allah. Dengan karunia- Nyalah jiwa menjadi tenteram. Harapan terbesar dari semua itu adalah semoga Allah Swt tidak mengecewakan permohonan kita; Dia Mahakaya, Maha Terpuji, dan Maha Melakukan apa yang dikehendaki-Nya.

"ya tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugrahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridhai. Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS.An-Naml [27]:19)

Dunia adalah tempat segala bentuk kesenangan yang diperindah dengan syahwat. Luasnya tak terjangkau. Harapan orang yang mengamatinya hanya sia-sia. Orang-orang yang lalai dalam hidupnya selalu menganggapnya kekal, dan teperdaya dengan luasnya. Sebagaimana yang diutarakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. " (QS. Al- Kahfi [18]: 46)

Rasulullah Saw bersabda, "Cinta dunia adalah otak segala kesalahan."

Orang-orang saleh senantiasa memohon kepada Tuhan mereka kebaikan dunia yang dapat berdampak baik dan positif bagi kehidupan mereka dalam beragama. Mereka hanya memohon kepada Allah Swt. yang terbaik dari rezeki dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Inilah doa para nabi,
"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa. " (QS. Ali Imran [3]: 38)

Dan, inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, "Apabila anak cucu Adam meninggal, terputuslah segala amalnya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang senantiasa mendoakan kedua orangtuanya." Ya, derajat seseorang akan terangkat setelah ia meninggal dengan (doa) anak-anaknya yang saleh, laki-laki maupun perempuan. Dan sebaik-baik doa adalah apa yang telah diajarkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an-Nya.

"Ya Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. " (QS. Al-Isra [17]: 24)

 Inilah Nabi Ibrahim yang selalu berdoa untuk dirinya dan anak cucunya, semoga menjadi anak yang saleh dan beruntung. Puncak dari semua itu adalah menegakkan salat. Salat adalah obat bagi segala macam penyakit jiwa. Dengan salat, dada terasa lapang. Dengan berkah salat rumah menjadi makmur. Dan, salat adalah tiang agama sekaligus sebagai pondasi utama akidah.

"Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat, ya Tuhanku kami, perkenankanlah doaku. " (QS. Ibrahim [14]: 40)

Sedangkan Nabi Zakaria, beliau tidak pernah putus memohon rahmat Allah Swt. Nabi Zakaria masuk ke tempat Maryam dan berkata kepadanya, "’Hai Maryam, darimana kamu memperoleh (makanan) ini?’Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki- Nya tanpa hisab." (QS. Ali Imran [3]: 37)

Sekalipun Zakaria telah tua dan mulai beruban, sementara istrinya juga demikian, beliau tetap memohon kepada Allah Swt. agar diberi keturunan yang saleh.

"Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri, dan Engkaulah waris yang paling baik. " (QS. Al-Anbiya [21]: 89)

Sesunggunya ayat-ayat di atas merupakan solusi atas berbagai permasalahan dan himpitan yang mendera. Menghindarkan berbagai macam kecemasan, serta menjadi penolong dalam menghadapi berbagai macam terpaan zaman.

*http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/hikmah/1256/syukur-nikmat-orang-saleh.html

Friday 14 June 2013

Rendah Hati (Tawadhu)

Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Orang yang tawadhu’ adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT.  Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.
Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini : 
 
Rasulullah SAW bersabda: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat izzah) oleh Allah. (HR. Muslim).
 
Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: "Bertawadhu lah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.(HR. Muslim).
 
Rasulullah SAW  bersabda,    “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
 
Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam kitabnya, Madarijus Salikin bahwa tawadhu ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya tinggi.
 
Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.. Ini karena orang yang tawadhu menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
 
Perhatikan firman Allah berikut ini : "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS. An Naml: 40).”
 
Berikut beberapa ayat-ayat Al Quran yang menegaskan perintah Allah SWT untuk senantiasa bersikap tawadhu’ dan menjauhi sikap sombong, sebagai berikut :
 
 ”Dan janganlah kalian berjalan di atas bumi ini dengan menyombongkan diri, karena kalian tidak akan mampu menembus bumi atau menjulang setinggi gunung” (QS al-Isra-37). 
 
Firman Allah SWT lainnya: ”Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan di muka bumi dan kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa (QS al-Qashshash-83.)
 
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.(QS. Al Furqaan: 63)
 
Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (QS: an-Nahl: 23)
 
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langitdan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS: al-A'raf: 40)
 
Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (QS.Al-Baqarah : 206)

 
Berikut  beberapa contoh Ketawadhu’an Rasulullah SAW
 
1.      Anas ra jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu mengucapkan salam pada mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal tersebut ia menjawab: Aku melihat kekasihku Nabi SAW senantiasa berbuat demikian. (HR Bukhari, Fathul Bari’-6247).
 
2.      Dari Anas ra berkata: Nabi SAW memiliki seekor unta yang diberi nama al-’adhba` yang tidak terkalahkan larinya, maka datang seorang ‘a’rabiy dengan untanya dan mampu mengalahkan, maka hati kaum muslimin terpukul menyaksikan hal tersebut sampai hal itu diketahui oleh nabi SAW, maka beliau bersabda: Menjadi haq Allah jika ada sesuatu yang meninggikan diri di dunia pasti akan direndahkan-Nya. HR Bukhari (Fathul Bari’-2872).
 
3.      Abu Said al-Khudarii ra pernah berkata: Jadilah kalian seperti Nabi SAW, beliau SAW menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu-pembantunya, memberi mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan memikulnya sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang tua maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang berpapasan baik tua maupun anak, kulit hitam, merah, maupun putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanjang termasuk orang yang suka shalat.
Dan beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut perangainya, dermawan luar biasa, indah perilakunya, selalu berseri-seri wajahnya, murah senyum pada siapa saja, sangat tawadhu’ tapi tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak berlebih-lebihan, mudah iba hatinya, sangat penyayang pada semua muslimin. Beliau SAW datang sendiri menjenguk orang sakit, menghadiri penguburan, berkunjung baik mengendarai keledai maupun berjalan kaki, mengabulkan undangan dari para hamba sahaya siapapun dan dimanapun. Bahkan ketika kekuasaannya SAW telah meliputi jazirah Arabia yang besar datang seorang ‘A’rabiy menghadap beliau SAW dengan gemetar seluruh tubuhnya, maka beliau SAW yang mulia segera menghampiri orang tersebut dan berkata: Tenanglah, tenanglah, saya ini bukan Raja, saya hanyalah anak seorang wanita Quraisy yang biasa makan daging kering. (HR Ibnu Majah-3312 dari abu Mas’ud al-Badariiy)
 
Berbicara lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan bagi siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar tetap tulus ikhlas, murni dari tujuan selain Allah.  Karena memang tidak mudah menjaga keikhlasan amal shaleh atau amal kebaikan kita agar tetap murni, bersih dari tujuan selain Allah. Sungguh sulit menjaga agar segala amal shaleh dan amal kebaikan yang kita lakukan tetap bersih dari tujuan selain mengharapkan ridha-Nya. Karena sangat banyak godaan yang datang, yang selalu berusaha mengotori amal kebaikan kita. Apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang menghampiri kita, maka terasa semakin sulit bagi kita untuk tetap bisa menjaga kemurnian amal shaleh kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga dihati kita. Disinilah sangat diperlukan tawadhu’ dengan menyadari sepenuhnya, bahwa sesungguhnya segala amal shaleh, amal kebaikan yang mampu kita lakukan, semua itu adalah karena pertolongan dan atas ijin Allah SWT.
 
Tawadhu’ juga mutlak dimiliki bagi para pendakwah yang sedang berjuang meninggikan Kalimatullah di muka bumi ini, maka sifat tawadhu mutlak diperlukan untuk kesuksesan misi dakwahnya. Karena bila tidak, maka disaat seorang pendakwah mendapatkan pujian, mendapatkan banyak jemaah, dikagumi orang dan ketenaran mulai menghampirinya, tanpa ketawadhu’an, maka seorang pendakwah pun tidak akan luput dari berbangga diri atas keberhasilannya.
 
*Sumber: http://dewiyana.abatasa.co.id/post/detail/3261/tawadhursquo;-rendah-hati

Monday 10 June 2013

Sabar dalam Izin Allah

Kesabaran adalah landasan hidup yang kondusif bagi tumbuhnya sifat adil, kasih-sayang, lembut. Kesabaran adalah wahana yang baik untuk membangkitkan kecerdasan. Kesabaran juga merupakan sarana untuk meminta pertolongan, atau cara untuk menolong diri-sendiri [self assistance]. Dan ia juga merupakan benteng yang tangguh untuk menahan berbagai macam godaan yang bisa merontokkan diri.

Dalam hidup ini kita melihat orang yang lemah semangat. Orang yang lemah semangat adalah orang yang lemah daya juangnya. Orang itu tak mau lagi melanjutkan usahanya. Dia merasa tak akan bisa mendapatkan yang diinginkannya. Kadang kita juga mengetahui orang yang berlemah hati, mudah menyerah dalam menghadapi tantangan dalam hidup ini. Orang yang lemah hati tidak tabah dalam menghadapi tekanan hidup. Lemah semangat tidak ada hubungannya dengan lemah hati. Tetapi, keduanya bisa menyatu pada diri seseorang. Nah, sabar adalah oposisi dari kedua sifat tersebut.

Jadi, orang yang memiliki kesabaran yang tinggi, adalah orang yang tidak lemah semangat dan tidak pula berlemah hati. Dengan kata lain, orang yang sabar adalah orang optimistik. Dia yakin apa yang sudah direncanakannya dengan matang itu akan diperoleh hasilnya. Orang yang sabar adalah orang yang telah menyiapkan pekerjaannya dengan baik. Prinsip manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, aksi dan pengendalian dilakukan dengan baik. Tak ada alasan untuk lemah hati maupun lemah semangat. Usaha lahiriah ditopangnya dengan doa: Ya Tuhan, teguhkan hati kami dan jadikan kami sabar dalam menghadapinya.

Ya, tapi itu kan mudah diomongkan! Lha, kenyataannya kan sulit dilakukan. Mari kita lihat lagi landasan untuk sampai di stasiun sabar. Bukankah kita telah melewati stasiun takwa dasar [berupaya meninggalkan perilaku hidup yang tak benar], stasiun tobat [kembali ke hal-hal yang benar], dan wara’ [sengaja memilih sesuatu yang benar]. Pada stasiun yang pertama itu, kita sudah berusaha meninggalkan hal-hal yang tak benar. Umumnya kita bisa lulus distasiun ini. Wujudnya, ya, kita mencari nafkah secara halal ini. Mungkin saja ada kesalahan dan keburukan yang kita lakukan, tapi itu bukan merupakan ‘cap’ bagi kehidupan kita umumnya! Pada umumnya, manusia itu berusaha menjaga keselamatan hidupnya. Mereka berada di landasan ketakwaan! Kemudian, sebagian dari manusia di stasiun pertama ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun tobat. Satu langkah lebih jauh.

Pada stasiun tobat, orang-orang berusaha hidup amar ma‘ruf nahi munkar. Hidup untuk memenuhi apa-apa yang dipandang baik di lingkungan hidupnya. Hidup menahan diri dari segala perbuatan yang ditolak masyarakat. Pada tahap ini subjektivitas masih ikut berperanan. Artinya, kemakrufan itu masih dipengaruhi oleh golongan atau kelompoknya. Di tahap ini kita belum mampu membebaskan diri dari tekanan atau belenggu kelompok. Nurani kita mengatakan bahwa ini sebetulnya tidak benar, tetapi kita tidak mampu keluar dari jeratnya. Kita mengetahui bahwa kolusi itu mungkar, tapi kita tidak mampu membebaskannya. Kita memang kembali ke jalan yang benar. Tetapi, kotoran masih juga tersangkut. Dalam bahasa syariat mereka sudah tidak mau berbuat kesalahan yang sama, tapi mungkin berbuat kesalahan yang lain. Yang ini sudah mampu dihindari, tapi yang itu masih berat. Inilah stasiun tobat!

Sebagian orang yang ada distasiun tobat ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun wara’. Di stasiun ini orang-orang betul-betul memilih sesuatu yang benar saja. Mereka melihat mana warna yang hitam, putih dan yang abu-abu. Mereka lalui yang warnanya putih saja. Yang hitam jelas ditinggalkan. Bahkan yang abu-abu pun ditinggalkannya. Memang berat perjalanan di tahap ini! Ini tidak berarti orang yang sudah berada pada maqam wara’ ini tidak punya kesalahan. Ya, kesalahan mungkin tetap terjadi, tetapi itu bukan karena pilihannya. Ia terpeleset!

Nah, ketika orang sudah bisa memasuki stasiun sabar, maka ia berusaha meraih sifat-sifat yang terpuji. Di dalam batinnya tumbuh rasa keadilan, senantiasa ingin ‘fair’. Ia tak ingin mendominasi kehidupan orang lain. Ia berbagi kasih. Ia berusaha lembut dalam pergaulan. Jika dalam tangga sebelumnya orang bergulat dengan sikap untung-rugi, maka dalam tangga sabar ia harus optimis untung. Ia yakin dapat keberuntungan bila ia mampu menahan godaan. Ia yakin dapat meraih keberuntungan [bukan keun-tungan lho!], bila semuanya dipersiapkan dengan matang. Ia jalani proses, prosedur, dan aturan-aturannya dengan benar. Karena memahami proses, prosedur dan aturan-atauran yang ada itu ia tak mengalami lemah semangat atau lemah hati. Kalau gagal, tidak berarti tamat perjuangannya. Sikap optimistik adalah bagian dari hidupnya.

Siapakah mereka yang tidak patah semangat, tidak lemah hati dan tidak berbudi rendah itu? Kalau zaman dulu, mereka itu adalah orang-orang yang memahami ketuhan-an dan menyertai para nabi dalam perjuangannya.
3:146 Dan berapa banyak nabi yang bertempur, yang disertai banyak ‘ribbi’. Mereka tak berlemah hati terhadap apa yang mereka di jalan Allah, dan mereka pun tak lemah semangat mereka, dan tidak pula rendah budinya. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.
Jika kita mau membaca satu ayat sebelumnya, di situ kita membaca pernyataan Tuhan. Di situ dinyatakan, “Dan sesuatu yang berjiwa tak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan. Dan barangsiapa menghendaki ganjaran dunia, Kami memberikan kepadanya, dan yang menghendaki ganjaran akhirat niscaya Kami berikan kepadanya. Dan Kami akan mengganjar mereka yang bersyukur.” Untuk menopang keteguhan hati kita, agar kita dapat bersabar, kita harus meyakini bahwa semua yang bernyawa pasti mati. Semua yang bernyawa pasti mati! Ini landasan kita. Kita resapkan dulu ke dalam batin kita.

Ternyata, makhluk yang bernafas itu mati dengan izin Tuhan. Masih ingat kan arti kata “izin Tuhan”. Kata ini tidak bermakna seperti ‘kita mengizinkan’. Kata izin yang kita pergunakan sebenarnya mengandung ‘sikap otoriter kita’ kepada yang kita izini. Izin Tuhan tidak bermakna demikian. Dalam izin Tuhan terkandung “kitaban mu-ajjala” yaitu hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Suatu hukum yang objektif dan rasional. Jadi, bila ada orang yang ditusuk pisau [dan energi yang disertakan pada pisau tusuk itu lebih besar daripada orang yang ditusuk] maka tertusuklah orang itu. Lho, kita kan menyaksikan di tv bahwa ada orang ditusuk pisau tidak mempan! Tidak mempan karena energi pada pisau itu lebih sedikit daripada yang ditusuk. Dalam aras objektif, semua itu hanya permainan energi. Tak perlu heran!

Ayat 145 ini perlu diingat-ingat. Yang pertama, Allah menggantikan kata buat diri-Nya dengan ‘Kami’. Sebagaimana yang telah saya jelaskan, kata ‘Kami’ berarti Allah melibatkan atau menyertakan ciptaan-Nya untuk terwujudnya suatu kejadian. Karena itu, dalam menempuh kehidupan ini kita juga harus memperhatikan kehadiran objek-objek di sekitar kita. Karena objek-objek itu bisa menjadi sarana atau wahana bagi kita dalam merealisasikan tujuan kita. Dan apa gongnya ayat tersebut? Gongnya adalah “barangsiapa menghendaki ganjaran [dunia atau akhirat], Kami berikan kepada dia yang menghendaki.” Tegas sekali bahwa Tuhan tidak berbuat sewenang-wenang. Setiap kali ada ayat “Tuhan menghendaki”, artinya kehendak-Nya itu diberikan kepada orang yang menghendaki. Karena itu, penutup ayat 145 adalah “Kami mengganjar orang-orang yang bersyukur”, yaitu orang yang telah memberikan nilai tambah.

Dengan memperhatikan ayat 3:145 tersebut, kita mengetahui bahwa kesabaran itu merupakan usaha. Kesabaran bukan semata-mata diberikan sebagai takdir, taken for granted. Ada sejumlah energi yang didepositokan untuk mewujudkan kesabaran. Dan berikutnya orang yang telah mendepositokan energinya untuk kesabaran itu memperoleh pokok dan interesnya. Kloplah pemahaman “Allah beserta orang-orang yang sabar”. Inilah hukum Ilahi yang digelar di alam ini.

Pada ayat 146 disebutkan bahwa banyak nabi yang bertempur yang disertai para “ribbi”. Kata ‘ribbi’ ini biasa diterjemahkan dengan ‘orang-orang yang menyembah Tuhan’. Tentu saja terjemahan demikian ini lemah. Terjemahan ini dapat diartikan, orang-orang yang bertempur melawan para nabi bukanlah orang yang menyembah Tuhan. Orang-orang yang bersama nabi pasti orang yang menyembah Tuhan. Nyatanya tidak demikian! Di era Nabi Saw, orang-orang kafir yang mengikat perjanjian damai bersama Nabi, bertempur bersama Nabi. Dan, sekarang ini pun bisa kita saksikan bahwa sangat banyak manusia penyembah Tuhan yang lemah hatinya. Jangankan untuk bertempur melawan musuh fisiknya, untuk menghadapi tekanan hidupnya sendiri saja tidak berdaya, sehingga hidup terombang-ambing.

Lalu, apa arti kata ribbi? Ribbi adalah mereka yang memahami makna ketuhanan. Atau, ribbi adalah manusia yang saleh [tindakannya bermanfaat/berguna bagi diri dan lingkungannya]. Orang-orang demikianlah yang menyertai para nabi dalam pertempuran di zamanya. Karena mereka faham betul asas manfaat yang mereka lakukan, maka mereka itu tak gentar, tak lemah hati, tak lemah semangat dalam menghadapi pertem-puran. Para ribbi ini pun tidak berbudi rendah [lari dari pertempuran].

Para ribbi inilah yang di ayat 3:146 itu dinamakan orang-orang yang sabar. Bukan semua pengikut nabi yang menyertai dalam pertempuran disebut ribbi. Tetapi para nabi dalam pertempuran disertai banyak ribbi. Orang-orang ini tak gentar, tidak lemah hati, dan tidak pengecut dalam pertempuran. Sifat yang dimiliki para ribbi ini adalah sifat orang-orang yang sabar. Dan ayat ini turun setelah perang Uhud, di mana pada waktu itu pasukan Nabi mengalami kekalahan karena ada kelompok pasukan yang terpancing harta rampasan perang. Jadi, ayat ini memperkokoh perjuangan para ribbi pada perang-perang yang terjadi sesudahnya.

Bila kita perhatikan ayat 3:148, maka orang-orang yang sabar ini juga disebut sebagai orang-orang yang berbuat kebajikan [muhsinin]. Dan di ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan mencintai orang-orang muhsin ini. Dan, muhsin berasal dari kata yang sama dengan ‘ihsan’. Maka orang-orang muhsin adalah orang-orang yang senantiasa sadar terhadap dirinya, yang dalam bahasa hadis, adalah orang yang beribadah dan merasa ibadahnya itu senantiasa dalam pengawasan Tuhan. Jika ditarik suatu garis dari ayat 145 hingga 148, dapat disimpulkan bahwa orang yang sabar adalah orang yang bersyukur, dan karena itu dia juga disebut orang yang berbuat kebajikan. Jadi, jelas bahwa orang yang sabar bukan orang yang pasif. Bukan orang yang sekadar menerima suatu tekanan atau ketidakberdayaan.

Seperti yang telah dijelaskan, bersyukur tidak berarti mengucapkan ‘terima kasih’ kepada Tuhan. Bersyukur merupakan suatu aktivitas kebajikan. Orang yang bersyukur adalah orang yang menciptakan nilai tambah dalam kehidupan di bumi ini. Apa yang dimaksud dengan nilai tambah [added value]? Bertambahnya kegunaan atas sesuatu! Bila semula besi hanya digunakan sebagai alat semacam pisau, linggis, dan cangkul, maka nilainya akan bertambah bila besi itu dijadikan seterika listrik, kerangka mobil dan sejenisnya. Nah, sebenarnya mereka yang menemukan mesin, motor, mobil, pesawat udara, komputer adalah orang-orang yang bersyukur. Dan penemuan itu terjadi berkat kesabaran mereka. Maka, marilah kita ingat QS 14:7, “La-in syakartum la-azidan nakum, wa la-in kafartum inna ‘adzabi lasyadid”, jika kamu bersyukur pasti Kami tambah kamu tetapi bila kamu kufur [menutupi kebenaran] maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih. Dengan membuat kipas-angin kita merasakan kenyamanannya, dan bila kita membuat AC maka lebih nyaman lagi. Tetapi bila kita tidak kreatif, tidak mau menciptakan kipas-angin atau AC, maka sungguh gerah rasanya. Menciptakan AC hanyalah salah satu bentuk syukur.

Bersabar = patuh kepada Allah dan Rasul + tidak bertikai

Pada Surat Al Anfal/8:46 ditegaskan bahwa orang yang sabar adalah orang yang patuh kepada Allah dan Rasul, dan tidak bertikai dengan teman seiring. Patuh kepada Allah dan rasul hendaknya tidak diturunkan ‘grade’-nya menjadi mematuhi Al Quran dan Hadis. Ingat Allah bukanlah Al Quran, begitu pula sebaliknya. Allah adalah Tuhan pencipta alam semesta. Sedangkan Al Quran adalah salah satu Kitab Suci-Nya. Patuh kepada Allah adalah mematuhi Al Haqq, Kebenaran. Kebenaran yang bisa kita saksikan di ufuk langit, di bumi, di kitab suci, dan pada diri kita sendiri.

Kebenaran di ufuk langit atau di angkasa adalah kejadian awan, angin, hujan, kilat, petir, cahaya, dan purnama. Kita patuhi hukum-hukum-Nya sehingga kita selalu dalam lindungan-Nya. Begitu pula hukum-hukum yang ada di bumi dan diri kita. Segala hukum adalah kepunyaan-Nya. Karena itu mematuhi-Nya berarti mengikuti hukum-hukum-Nya [His Law] yang ditetapkan di alam raya ini. Allah jangan dijadikan sesembahan yang abstrak. Kalau Allah kita abstrakkan maka itu Allah produk pikiran kita sendiri. Allah Maha Halus [wa huwa lathif], maka kita dekati dengan kelembutan, yaitu perilaku yang lembut, penuh kasih. Dan kita latih batin kita dengan zikir kepada-Nya. Sekarang ini sebagian besar orang-orang Islam mematuhi Allah hanya dengan sekadar mematuhi teks halal dan haram, dan itu yang didiskripsikan 1000 tahun yang lalu. Sehingga ‘narkoba’ yang sebenarnya lebih haram dari sekadar kecampuran daging babi atau minuman beralkohol, tumbuh merajalela di banyak negeri yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini terjadi karena mematuhi Tuhan hanya diwujudkan dengan ibadah mahdhah [ritual] dan mengikuti teks-teks halal haram.

Dalam mematuhi Rasul pun menjadi abstrak. Secara fisikal Rasul sudah tidak hadir di tengah-tengah umat manusia sekarang ini [tentu saja semenjak th 632 M]. Mematuhi Rasul tidak berarti mematuhi Hadis. Kalau mematuhi beliau berarti mematuhi Hadis, lha bagaimana dengan generasi sebelum Hadis ditulis! Bukhari saja baru dilahirkan pada 196 H, artinya dia baru hadir di bumi ini setelah 186 tahun [seratus delapan puluh enam tahun] sepeninggal Rasul Saw. Lalu buat apa Hadis? Tentu saja digunakan sebagai alat atau referensi untuk memahami Al Quran.

Lalu bagaimana caranya mematuhi Rasul itu? Ingat, mematuhi tidak sama dengan ‘meniru’. Mematuhi beliau tidak sama dengan meniru bentuk lahiriah beliau, seperti anak-anak meniru perilaku orang dewasa. Peniruan demikian adalah peniruan kuantitatif yaitu berapa banyak bentuk lahiriah yang kita tiru. Jika demikian, rendah betul kualitas umat. Perilaku anak kecil dan orang dewasa tidak ada bedanya, asal sudah bersorban, bergamis, berjanggut, rambut dibiarkan sampai bahu, makan selalu bersama-sama dalam satu tampah dan hanya pakai jari [bagaimana kalau makan bubur ya?] dan lain sebagainya. Mematuhi atau mengikuti Rasul adalah meneladani beliau. Kita teladani, bagaimana beliau bisa bersabar menghadapi tekanan lawan, bagaimana beliau mampu menegakkan keadilan, bagaimana cara beliau memecahkan suatu persoalan, bagaimana beliau bersifat lembut tapi tegas, bagaimana beliau bisa ramah tapi tak dilecehkan, bagaimana beliau menegakkan hukum dan lain-lain. Bagaimana bisa meneladani beliau? Tentu saja dengan pendidikan yang baik, dengan meningkatkan kecerdasan [IQ, EQ dan SQ], dan dengan pematangan diri.

Dalam subtopik ini dinyatakan bahwa sabar merupakan gabungan kepatuhan kepada Allah dan Rasul, dan tidak bertikai. Tidak bertikai, tidak berebut kewenangan, tidak berebut kekuasaan, tidak mau menang-menangan adalah cara untuk membangun kesabaran. Pernyataan patuh kepada Allah dan Rasul belum cukup, bila kita masih bertikai. Pertikaian akan memporak-porandakan keutuhan kita. Akhirnya kita menjadi gentar dalam menghadapi tekanan hidup, dan lemah posisi kita. Di bawah ini saya kutipkan sebuah ayat QS 8:46. Ayat ini ada di dalam Surat Al Anfal, surat yang membahas rampasan perang. Sebagian ayat diturunkan setelah perang Badar, dan yang lain setelah perang Uhud [terjadi 1 tahun kemudian dari perang Badar].
8:46 Wa athi-‘u l-laha wa rasulahu wa la tanaza-‘u fatafsyalu wa tadz-haba rihukum washbiru inna l-laha ma-‘a sh-shabirin.
Dan, patuhilah Allah dan Rasul-Nya dan jangan berselisih [bertikai] agar kamu tidak lemah dan hilang kekuatanmu. Bersabarlah! Sesungguhnya Tuhan menyertai orang-orang yang sabar.
Di dalam Al Quran perintah bersabar itu selalu didahului dengan kalimat berita atau perintah. Dengan demikian kita bisa memahami apa yang dimaksud dengan sabar. Misalnya, pada QS 3:146 pernyataan sabar didahului kalimat berita ‘mereka tak gentar, tak lemah semangat, tak berbudi rendah. Sedangkan pada ayat barusan, pernyataan sabar didahului kalimat perintah ‘taat kepada Allah dan Rasul, dan larangan berselisih’. Jelas, bahwa sabar adalah aksi, bersifat aktif. Sabar bukan pasifis atau bersifat pasif. Sabar adalah usaha, ada pengerahan tenaga. Sabar bukan diam, membiarkan sesuatu menimpa pada dirinya. Sabar bukan kalah, tetapi menang!

Allah itu Maha Sabar!

Sebagai penutup bahasan ‘sabar’ [yang akan datang tentang zuhud], saya ambilkan asma-ul husna yang ke-99, yaitu “ash-shabur”. Ya, Allah itu Maha Sabar! Meskipun Dia itu Maha Kuasa, tetapi untuk menciptakan bumi yang bisa kita tempati ini perlu waktu 4,5 milyar tahun. Ternyata penciptaan itu bukan bersifat “sim-salabim”. Tuhan sabar dalam menciptakan. Tuhan penuhi hukum-hukum ciptaan. Tuhan menciptakan semua ini berlandaskan 5 prinsip [yang Dia tetapkan], yaitu matematika, fisika, kimia, biologi, dan evolusi.

Dalam bahasa Al Quran dinyatakan “al-ladzi khalaqa fasawwa wa l-ladzi qaddara fahada wa l-ladzi akhraja l-mar’a faja-‘alahu ghutsa-an ahwa.” Dia yang menciptakan dan menyempurnakan [lahir sebagai orok dan tumbuh dan berkembang hingga dewasa], Dia menetapkan kadar [potensi, ukuran, dan hukum-hukum fisika dan kimia] pada ciptaan-Nya. Dia memberi petunjuk kepada ciptaan-Nya yang biologis [sehingga makhluk biologis bisa mempertahankan kehidupannya]. Lalu, Dia putuskan ikatan-ikatan kimia yang ada sehingga makhluk hidup menjadi layu [tua renta] dan akhirnya punah [ghutsa-an ahwa]. Dan dalam proses penciptaan di Surat ke-87, yaitu ayat 2 ?5 itu, tumbuhlah dari masyarakat primitif menuju masyarakat madani. Berlaku hukum evolusi di situ. Dari manusia yang politeis menjadi manusia yang monoteis. Demikianlah hukum evolusi bekerja. Pada akhirnya, orang yang sabar adalah orang yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Tuhan.
 
 
*Sumber: http://rt013rw035.blogspot.com/2013/01/Pemahaman-Sufisme-Tasawuf-11.html

Monday 3 June 2013

Kisah Teladan Rasulullah SAW.

Kalau ada pakaian yang koyak,
Rasulullah menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya.

Beliau juga memerah susu kambing
untuk keperluan  keluarga maupun untuk dijual.

Setiap kali pulang ke rumah,
bila dilihat tiada makanan yang sudah siap di masak untuk dimakan,
sambil tersenyum baginda menyingsing lengan bajunya
untuk membantu isterinya di dapur.

Sayidatina 'Aisyah menceritakan:
”Kalau Nabi berada di rumah,
beliau selalu membantu urusan rumahtangga.

Jika mendengar azan,
beliau cepat-cepat berangkat ke masjid,
dan cepat-cepat pulang kembali sesudah selesai sembahyang."

Pernah baginda pulang pada waktu pagi.
Tentulah baginda amat lapar waktu itu.
 Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan.
Yang mentah pun tidak ada karena Sayidatina 'Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya,
 "Belum ada sarapan ya Khumaira?"
(Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina 'Aisyah yang berarti 'Wahai yang kemerah-merahan')

Aisyah menjawab dengan agak serba salah,
"Belum ada apa-apa wahai Rasulullah." 
Rasulullah lantas berkata,
”Kalau begitu aku puasa saja hari ini."
tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya.

Pernah baginda bersabda,
"sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya." 

Prihatin, sabar dan tawadhuknya baginda sebagai kepala keluarga.

Pada suatu ketika baginda menjadi imam solat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan baginda antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergeser antara satu sama lain.
Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu
langsung bertanya setelah selesai bersembahyang :


"Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?"
"Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar"
"Ya Rasulullah... mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh,
kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan?
Kami yakin engkau sedang sakit..."
desak Umar penuh cemas.

Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya.
Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.

"Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?" 

Lalu baginda menjawab dengan lembut,
”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?" "Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak."

Baginda pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor.

Hanya diam dan bersabar bila kain rida'nya direntap dengan kasar oleh seorang Arab Badwi hingga berbekas merah di lehernya.

Dan dengan penuh rasa kehambaan baginda membasuh tempat
yang dikencingi si Badwi di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu.

Kecintaannya yang tinggi terhadap ALLAH swt dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah saw menolak sama sekali rasa ketuanan.

Seolah-olah anugerah kemuliaan dari ALLAH tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam keseorangan.

Ketika pintu Syurga telah terbuka,
seluas-luasnya untuk baginda,
baginda masih berdiri di waktu-waktu sepi malam hari,
 terus-menerus beribadah,
hingga pernah baginda terjatuh,
lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak.
Fisiknya sudah tidak mampu menanggung
kemahuan jiwanya yang tinggi.

Bila ditanya oleh Sayidatina 'Aisyah,
"Ya Rasulullah, bukankah engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?"

Jawab baginda dengan lunak,
"Ya 'Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur."

*Sumber: http://www.meriwardanaku.com/2010/05/kisah-tauladan-kita-rasulullah-muhammad.html