Monday 30 June 2014

Mengapa Puasa menjadi Sia-Sia?

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thabrani. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shahih lighairih)

Ibadah puasa bertujuan membentuk manusia beriman agar bertaqwa. Itulah pesan yang terdapat dalam Al Qur ‘an, surat Al Baqarah ayat 183 yang menjadi landasan hukum wajibnya berpuasa bagi umat Islam pada setiap datangnya bulan Ramadhan.

Potensi ibadah puasa untuk mengantarkan kita menjadi manusia-manusia taqwa sangat mungkin dan terbuka luas. Tidak saja diriset dari keagungan bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan Al Qur’an, dilaksanakannya puasa pada siang hari, dan terdapatnya “lailatul Qadri” yaitu malam yang lebih baik dari malam seribu bulan. Akan tetapi lebih dari itu, salah satu sebabnya karena ibadah puasa memiliki amunisi energi positif yang dahsyat menempatkan posisi ibadah puasa sebagai ibadah teknis sosial sangat pribadi atau personal.
Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, sebut saja contohnya ibadah shalat lima waktu yang mudah tampak oleh setiap mata, puasa tidak demikian. Seorang yang melaksanakan shalat atau tidak shalat mudah kita ketahui, tidak membayar zakat dapat kelihatan apalagi ibadah haji lebih mudah untuk rnengetahuinya. Karena ibadah haji adalah ibadah massal yang sangat bersifat demonstrative.
Demikian juga mudah mengukur dari sisi pelaksanaannya, orang akan katakan shalatnya khusyu’ dan bagus karena dilihat dari gaya ia melaksanakan shalat dengan sempurna. Orang akan mengatakan sungguh hebat dan berani, karena ketika membayar zakat dalam jumlah yang terlihat cukup banyak. Orang akan mengatakan hajinya mabrur, karena terlihat saat kembali dari haji perilakunya berubah drastis alias taubat.

Berbeda dengan amalan PUASA/SHIAM. Ini seolah-seolah menjadi rahasia manusia dengan Tuhan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi dijelaskan: “Setiap amal anak Adam bagi dirinya, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang menanggung pahalanya.“  (HR.Bukhari)

Maka agar puasa yang kita lakukan tetap bernilai dan jauh dari kesia-siaan. Kita perlu kenali apa saja penyebabnya dan triknya, diantaranya adalah :

1. Tundukkan pandangan. 
Ingatlah bahwa puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram.

Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus:
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latha’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)

Dengan menundukkan pandangan, mata akan terjaga dari segala hal yang tidak halal dilihat. Segala yang haram itu berpotensi melalaikan hati dari dzikrullah. Ingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Pandangan adalah salah satu anak panah beracun di antara anak panah Iblis, semoga Allah melaknatinya. Barang siapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah memberinya keimanan yang merupakan kelezatan dalam hatinya.” (HR.Hakim)

2. Jaga lisan dari perkataan yang tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti berdusta, ghibah, bergunjing, memaki, bertengkar, banyak bersenda gurau, berdebat, serta segala hal yang mengundang kebencian dan permusuhan. Kendalikan lisan dengan diam dan lebih utama bila lisan disibukkan dengan dzikrullah serta tilawah Qur’an.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya puasa adalah perisai. Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa maka jangan berkata kotor dan jangan bertindak bodoh. Jika ada seseorang menyerang atau mencaci, katakanlah “sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa.”

Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim)

3. Jaga telinga dari perkataan dan pembicaraan yang dibenci Allah. 
Setiap yang haram diucapkan, haram pula didengarkan. Bahkan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa kedudukan orang yang suka mendengarkan berita bohong sama dengan orang yang memakan barang haram. “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong. Banyak memakan yang haram.” (QS. Al-Maidah: 42)
Dalam ayat lain: “Mengapa orang-orang ‘alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?” (QS. Al-Maidah: 63)
Mendiamkan ghibah juga dilarang. Allah berfirman, “Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa:140)

4. Tahan setiap anggota tubuh dari berbuat dosa. 
Hindari tangan, kaki, dan semua panca indera lainnya dari hal-hal yang diharamkan, walaupun telah berbuka. Tak ada artinya sepanjang hari menahan diri dari makanan yang halal, namun setelah berbuka melakukan hal-hal yang dibenci bahkan diharamkan. Orang seperti inilah yang disinggung Rasululkah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah)

5. Jangan makan berlebih-lebihan ketika berbuka. 
Sebab seburuk-buruknya wadah adalah perut yang penuh makanan. Tujuan puasa adalah menundukkan hawa nafsu untuk memperkuat jiwa mencapai taqwa. Bila dari pagi hingga sore perut dikosongkan, tapi kemudian dipenuhi berbagai makanan lezat saat berbuka, maka syahwat akan bangkit. Ia bisa kehilangan esensi dan hikmah puasa. Puasa yang bertujuan melemahkan berbagai kekuatan yang menjadi sarang setan, jadi sia-sia. Karena syahwat menguat dan setan kembali menghembuskan rayuannya agar berbuat kejahatan.

Salah satu adab puasa yang sering dilupakan adalah mengurangi tidur siang. Padahal dengan tetap aktif di siang hari, kita bisa merasakan lapar, dahaga, dan lemahnya kekuatan. Sehingga hati menjadi jernih, lembut dan timbul empati terhadap penderitaan orang. Dari situ juga seseorang mendapatkan semangat dan kekuatan untuk bangun di malam hari, qiyamul lail dan tadarrus dan melakukan ibadah lainnya.

6. Penuhilah hati dengan perasaan ‘tergantung” dan “terguncang” antara cemas dan harap. 
Sebab tak ada yang tahu apakah puasa kita diterima dan termasuk golongan muqarrabin, atau ditolak sehingga termasuk orang-orang yang dimurkai?

Ada satu riwayat dari Hasan bin Abul Hasan Bashri. Suatu hari ia melewati suatu kaum yang tengah tertawa. Melihat itu ia berkata, “Sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan keta’atan bagi makhluk-Nya. Kemudian ada orang yang berlomba hingga menang dan ada pula yang tertinggal lalu kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan ialah pemain yang tertawa di saat orang-orang berpacu meraih kemenangan.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Puasa adalah amanah maka hendaklah salah seorang di antara kamu menjaga amanahnya.” (HR. Al-Kharaithi dan Sanadnya Hasan)

Semoga seluruh amalan ibadah kita diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjauhkan kita dari segala perbuatan yang merusaknya. Amin

Keutamaan Memberi Makanan Berbuka kepada Orang-orang yang Berpuasa

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ (رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صحيح)
“Barangsiapa yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun.” (HR. At Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits Hasan Shahih”)
Termasuk nikmat dari Allah subhanahu wata’ala atas hamba-hamba-Nya, Allah mensyariatkan tolong-menolong di atas kebaikan dan ketakwaan. Dan termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan ini adalah memberi makanan berbuka bagi orang yang sedang berpuasa, karena orang yang berpuasa diperintahkan untuk berbuka dan menyegerakan buka puasanya. Apabila dia ditolong dalam perkara ini, maka ini termasuk nikmat dari Allah ‘azza wajalla. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang memberi buka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun.”
Para ulama berselisih pendapat tentang makna “Barangsiapa yang memberi buka bagi orang yang berpuasa”. Dikatakan bahwa yang diinginkan dengan memberi makanan berbuka di sini adalah memberikan hal minimal yang bisa membatalkan puasa seorang yang berpuasa, walaupun itu hanya sebutir kurma.
Dan sebagian ulama berkata bahwa yang diinginkan di sini adalah memberikan makanan pembuka yang mengenyangkan, karena inilah perkara yang memberikan manfaat bagi orang yang berpuasa sepanjang malam, dan terkadang cukup baginya sampai sahur.
Akan tetapi yang zhahir dari hadits ini adalah manusia apabila memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa walau dengan sebutir kurma, maka dia akan mendapatkan pahala semisal pahala orang yang berpuasa tersebut.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi manusia untuk bersemangat memberikan makanan berbuka bagi orang-orang yang berpuasa dengan kadar semampunya, terlebih lagi bersamaan dengan butuh dan fakirnya orang yang berpuasa tersebut, atau butuhnya mereka karena mereka tidak menemukan orang yang menyediakan makanan berbuka bagi mereka, atau keadaan lain yang menyerupai ini.

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin