Sunday 17 February 2013

Adab Membaca Al-Qur'an

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)


Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:



1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.
Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)



2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.
Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.



3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.
Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.



4. Membaguskan suara ketika membacanya.
Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.



5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)



Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.


Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

Saturday 16 February 2013

Empat Level Membaca Al-Qur'an

“Bacalah…”, “Iqra’…” Perintah pertama, wahyu pertama, dan kunci pertama Allah ajarkan untuk Nabi Muhammad SAW dan Ummatnya. Apa artinya?
Ada arti yang luar biasa strategis diinginkan dengan agama Nabi Muhammad SAW ini. Untuk bisa lebih memahami pentingnya perintah membaca ini, mari kita bandingkan Umat Muhammad dengan umat-umat sebelumnya.

Untuk meyakinkan membuat Fir’aun dan kaum Nabi Musa, Allah menunjukkan kemukjizatan yang irasional, yaitu tongkat yang dapat berubah menjadi ular. Nabi Isa, Allah berikan kemampuan menghidupkan orang mati, membuat orang buta bisa melihat, menyembuhkan penyakit lepra yang di kala itu tidak dapat disembuhkan sama sekali. Bagaimana dengan Umat Muhammad SAW? Rasulullah bersabda:“Tidak seorang nabi pun melainkan diberikan (mukjizat) yang membuat manusia beriman terhadap hal-hal seperti itu. Sedangkan yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan kepadaku. Dan aku berharap menjadi (nabi) yang paling banyak pengikutnya.”(HR Bukhari dan Muslim).

Mukjizat Nabi Muhammad SAW bukan hal-hal yang irasional. Nabi Muhammad mengajak umat manusia beriman atas dasar kerja akal dan proses berpikir rasional. Mari renungkan perintah Allah untuk membaca tersebut: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Apa yang diperintahkan untuk dibaca? Tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Karena yang lebih penting adalah bagaimana proses membaca dilakukan. Sangat banyak hal-hal yang harus dibaca. Supaya proses membaca menjadi efektif dan bermanfaat, Allah ajarkan adalah bagaimana kita membaca. Karena itu secara gamblang Allah jelaskan how to-nya: “Bacalah dengan nama Sang Pencipta.” Proses membaca yang bermanfaat yang mendorong pada keimanan kepada Sang Pencipta. Kegiatan membaca yang efektif adalah membaca yang dimulai dengan keberkahan iman kepada Allah. Allah yang menciptakan manusia. Allah merupakan sumber ilmu. Allah yang dengan murah hati memberikan karunia-Nya kepada hamba-Nya.

Bahan bacaan yang paling baik adalah al-Qur’an. Kualitas bahan bacaan selalu ditentukan oleh kualitas sumbernya. Membaca tulisan yang dikarang seorang pakar di bidangnya tentu jauh bermanfaat dibandingkan tulisan yang dikarang oleh orang awam.  Lalu bagaimana dengan bahan bacaan yang berasal dari Sang Pencipta Langit dan Bumi?

Membaca al-Qur’an berarti mengkonsumsi informasi yang paling berkualitas yang ada pada umat manusia. Membaca al-Qur’an berarti menyerap ilmu yang paling tinggi yang mungkin diraih manusia. Membaca al-Qur’an berarti melakukan peningkatan cakrawala dengan sarana terbaik. Membaca al-Qur’an berarti meningkatkan kualitas diri dengan nara sumber yang paling ideal yang tidak terbayangkan ketinggian kualitasnya.
Ada empat level dalam membaca al-Qur’an. Semuanya penuh berkah dan manfaat. Semakin tinggi level membaca seseorang, semakin besar manfaat yang diperoleh.

Level Pertama: Mengucapkan al-Qur’an dengan Benar
Rasulullah SAW, para sahabatnya dan para ulama sangat memberikan perhatian yang besar terhadap bagaimana mengucapkan lafahz-lafazh al-Qur’an secara baik dan benar. Karena bentuk ideal transfer informasi adalah penyampaian redaksi secara tepat. Kesalahan pengucapan berakibat buruk pada proses tranformasi informasi. Kalimat-kalimat ilahi dalam al-Qur’an bukan saja memuat informasi dan ajaran kebenaran dan keselamatan, tetapi juga memuat keindahan bahasa, ketinggian kualitas sastra, serta keagungan suasana ilahiyyah. Karena itu dalam membaca al-Qur’an sangat dianjurkan untuk memperhatikan adab-adabnya, seperti harus dalam keadaan suci, berpakaian menutup aurat, membaca dengan khusyu’, memperindah suara semampunya, dan memperhatikan tajwidnya. Rasulullah SAW bersabda:“Perindahlah al-Qur’an dengan suara kalian.” (HR Abu Daud, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah).

Al-Qur’an adalah kata-kata dari Allah yang Maha Indah, karena itu semaksimal mungkin kita menerjemahkan keindahan tersebut dengan cara kita membaca. Meskipun demikian bukan berarti mereka yang tidak mampu mengucapkan al-Qur’an dengan fasih mereka tidak boleh membaca al-Qur’an. Cukup bagi seorang mukmin untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah SAW bersabda:“Orang mahir membaca al-Qur’an, bersama dengan malaikat yang mulia dan berbakti. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an terbata-bata dan mengalami kesulitan (mengucapkannya) dia mendapatkan dua pahala.” (HR Muslim)

Subhanallah, ini adalah kemurahan Allah SWT. Yang membaca al-Qur’an dengan penuh kesulitan dan terbata-bata Allah justru memberi dua pahala, yaitu pahala mengucapkan al-Qur’an dan pahala menghadapi kesulitan. Meskipun demikian yang mahir tetap mendapatkan kelebihan derajat yaitu kemuliaan bersama dengan para malaikat.

Level Kedua, Membaca dengan Pemahaman
Maksud dari semua perkataan adalah pemahaman terhadap makna dari perkataan tersebut. Demikian juga al-Qur’an. Allah menurunkan al-Qur’an kepada umat manusia bukan sekedar dibunyikan tanpa dipahami. Al-Qur’an bukanlah mantera-mantera yang diucapkan dengan komat-kamit. Al-Qur’an adalah petunjuk. Dan al-Qur’an tidak akan menjadi petunjuk jika maknanya tidak dipahami. Allah mengecam Ahlul Kitab yang merasa memilki kitab suci tetapi tidak mengetahui isinya, Allah berfirman:“Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al kitab (Taurat), kecuali angan-angan belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS al-Baqarah: 78).

Allah menyebut Ahlul Kitab sebagai “ummiyyin” padahal mereka mampu membaca dan menulis, tetapi karena mereka tidak mengetahui isi Kitab Suci mereka Allah menyebut mereka sebagai buta huruf. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna kata “amani” artinya membaca. Berdasarkan tafsir ini, kita memahami bahwa membaca saja tidak membuat kita mendapatkan hidayah jika kita tidak memahami dan mengetahui makna kalamullah.

Untuk memahami al-Qur’an tentu saja perlu mempelajari bahasanya. Bagi yang tidak mengetahui bahasa Arab, membaca terjemahan atau tafsir berbahasa Indonesia bisa dijadikan pengganti sebagai langkah darurat. Saya katakan itu adalah langkah darurat, karena ketinggian bahasa al-Qur’an tidak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Terjemahan al-Qur’an hakekatnya hanyalah terjemahan dari pemahaman sang penerjemah. Bahkan jika kita tanya kepada siapapun yang menerjemahkan al-Qur’an, pasti dia akan mengatakan tidak semua makna yang dikandung oleh lafal-lafal al-Qur’an dapat ditemukan padanannya pada bahasa lain.

Setingkat lebih baik dari terjemah al-Qur’an adalah terjemahan tafsir al-Qur’an, atau tafsir yang memang ditulis dalam bahasa Indonesia. Siapapun yang ingin mempelajari isi al-Qur’an tidak boleh melewatkan kitab-kitab tafsir. Seorang yang ahli bahasa Arab pun tidak akan tepat memahami al-Qur’an jika tidak mempelajari kitab tafsir. Karena sebagaimana halnya semua bahasa yang hidup adalah dinamis. Tidak semua kata-kata yang dipakai orang jaman sekarang memiliki makna yang sama dengan makna yang dipakai pada jaman turunnya al-Qur’an. Mislanya, kata ‘sayyaroh’ pada jaman ini berarti mobil, sedangkan dalam al-Qur’an ‘sayyaroh’ berarti kafilah dagang. Kata ‘qoryah’ di jaman sekarang dipakai untuk makna desa, sedangkan dalam al-Qur’an artinya adalah kota atau negeri.

Di sisi lain kitab-kitab tafsir beragam kualitasnya sesuai dengan kapasitas keilmuan penulisnya. Yang paling dekat dengan kebenaran adalah yang paling banyak menggali pemahaman dari wahyu itu sendiri. Metode yang paling baik dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan Hadits Nabi, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan tabi’in, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan kaidah bahasa. Kitab tafsir yang paling baik menerapkan metode ini adalah Tafsir Ibnu Katsir.

Dikarenakan al-Qur’an kitab yang universal, maka setiap masa selalu membutuhkan penafsiran yang mengupas al-Qur’an terkait dengan isu-isu kontemporer. Pada abad ke-19 dan ke-20 muncul tafsir-tafsir kontemporer seperti al-Manar karya Rasyid Ridho, at-Tahrir wat-Tanwir karya Ibnu Asyur, Adhwa-ul Bayan karya Muhammad Amin asy-Syinqithy, dan yang fenomenal adalah Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb.

Level Ketiga, Membaca dengan Tadabbur
Al-Qur’an mendorong manusia untuk memfungsikan akal dan hatinya lebih jauh dari sekedar memahami, walaupun level memahami al-Qur’an adalah level aktifitas otak yang tinggi. Jika seseorang memahami Kalamullah berarti dia telah mencerna informasi yang luar biasa tinggi kualitasnya. Tetapi ternyata Allah menginginkan kapasitas pemikiran seorang muslim bergerak lebih jauh. Al-Qur’an mendorong akal dan hati untuk mentadabburi al-Qur’an. Tadabbur berartideep thinking, merenungi, memperhatikan secara mendalam, menggali hakekat yang tersimpan di balik kata-kata, dan menyingkap horison di belakang makna.

Hal itu karena hakekat-hakekat yang terangkum dalam al-Qur’an tidak semuanya hakekat yang permukaan yang sederhana dan mudah ditangkap. Banyak hakekat-hakekat yang membutuhkan pemikiran yang dalam, perenungan yang jauh serta pandangan yang tajam. Dan hal itu tidak mungkin didapatkan hanya sekedar dengan menangkap lapisan luar lafal-lafal al-Qur’an. Lebih jauh bahkan Allah menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuan agar manusia mentadabburi ayat-ayat-Nya. Allah berfirman:“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS Shad: 76).

Untuk mentadabburi ayat-ayat Allah diperlukan hati yang bersih dan pemikiran yang tajam. Hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan mampu melihat secara jernih, karena syahwat akan banyak berbicara dan mengendalikan hati. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23).

Ayat-ayat Allah yang terbentang di alam semesta juga hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh hati-hati yang bersih.“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab)” (QS Ali Imran: 190).

Level Keempat, Membaca dengan Khusyu’
Masih ada plafon yang lebih tinggi di atas tadabbur? Ya, al-Qur’an terus mendorong manusia untuk terbang tinggi menuju ketinggian ruh, masuk ke alam penuh dengan keagungan ilahi dengan hati khusyu’ ruh sang mukmin menyaksikan keagungan Allah.
Setelah hati mampu melihat alam di belakang dunia materi, memahami hakekat di balik fenomena alam, ketika tirai tersingkap, hati mukmin yang mentadabburi al-Qur’an luluh. Hati tunduk melihat kebesaran Allah. Kulit bergetar merasakan keagungan Hakekat Mutlak. “Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS az-Zumar: 23).

Orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan ilmu ilahi, orang-orang yang kedalaman ilmunya kokoh akan bersujud tunduk, mata mereka akan memancarkan air mata kekhusyu’an setiap kali mereka diingatkan dengan ayat-ayat Allah, setiap kali hati mereka tersentuh dengan Kebenaran Ilahi Mutlak.  “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, (108) dan mereka berkata: “Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi”. (109) dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS al-Isra’: 107-109).


Thursday 14 February 2013

Agar Musibah Mengundang Rahmat

Setiap manusia di Dunia ini pasti pernah melewati masa-masa ujian dari Allah SWT. Beragam ujian yang dialami manusia di Dunia menjadi sarana yang membuktikan sejauh mana kesabaran, kerelaan dan penerimaannya terhadap ketetapan Allah SWT. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (QS. Al-Mulk: 2).

Nilai dan derajat yang membedakan seseorang yang tertimpa musibah terletak pada bagaimana ia menyikapinya. Menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, kondisi seseorang yang tertimpa musibah -yang tidak mungkin dihindari kejadiannya seperti wafat seorang anak, sakit, kehilangan harta dan seterusnya- terbagi kepada empat tingkatan:
1.      Tingkatan lemah.
2.      Tingkatan sabar, baik karena Allah SWT, maupun lantaran menjaga kehormatannya.
3.      Tingkatan ridha.
4.      Tingkatan syukur. (Bekal orang-orang sabar).

Pertama, tingkatan lemah.
Maksudnya tidak menerima kondisi sambil diiringi rasa kesal. Ini adalah tingkat terendah. Kondisi manusia pada tingkat ini dicirikan dengan rasa kesal kepada Tuhannya. Kesal dengan beragam bentuknya, baik sekedar di hati ataupun dengan lisan dan perbuatan. Hati merasa kesal, kecewa atau marah terhadap Tuhannya. Adakalanya diikuti juga dengan lisan mencela dan memaki, atau juga diiringi dengan perbuatan, seperti menampar wajah, merobek pakaian, memecahkan barang dan seterusnya.

Kondisi ini menjadikan seseorang terhalangi dari pahala Allah SWT. Bahkan ia telah berbuat dosa lantaran sikapnya tersebut. Maka pada tingkatan ini berarti seseorang tertimpa dua bentuk musibah sekaligus; musibah urusan dunianya, dan musibah dalam urusan agamanya lantaran sikap buruk menghadapi musibah.

Kedua, tingkatan bersabar.
Pada tingkatan ini, seseorang tidak menyukai musibah yang melandanya. Namun ia bersabar dan mampu menahan gejolak jiwanya dari melakukan hal yang dibenci Allah SWT. Ia memang benci dengan musibah, tidak suka kejadian buruk yang menimpanya, namun ia mampu menahan jiwanya, tanpa membenci Allah SWT, tanpa berucap kata-kata yang dibenci oleh-Nya, dan tanpa melakukan perbuatan dosa. Ia tetap bersabar, meski tidak menyukai musibah itu sendiri.

Ketiga, tingkatan ridha.
Pada tingkatan ini seseorang ridha dengan musibah yang menimpanya. Menerima dengan lapang dada dan penuh kerelaan. Dalam kondisi seakan-akan seseorang tidak sedang tertimpa musibah apapun.

Keempat, tingkatan syukur.
Ketika mendapati apa yang tidak disukainya, Rasulullah saw berkata: “Segala puji bagi Allah pada setiap kondisi”. (HR. Ibnu Majah). Syukur kepada Allah SWT yang terucap, lantaran pahala dan keutamaan yang dijanjikan oleh-Nya bisa jadi lebih besar dan tidak sebanding dengan derita yang menimpa.

Muslim ketika Tertimpa Musibah
Musibah yang menimpa bisa jadi menyimpan banyak hikmah dan manfaat. Hikmah dan manfaat itu sebagiannya dapat dijangkau oleh pikiran manusia, dan sebagian yang lain tidak, karena sebagian hikmah dan manfaat itu hanya ada dalam ilmu Allah SWT. Misal seseorang tidak mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi kemudian setelah satu kejadian menimpanya. Apa yang terjadi di masa yang akan datang, kepastiannya ada pada ilmu Allah SWT. Manusia juga tidak bisa memastikan apa yang terbaik baginya. Allah SWT, Sang Pencipta yang paling tahu dengan apa yang tebaik bagi makhluk-Nya. “Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216). 

Maka seorang Muslim yang tertimpa musibah dituntut untuk:
a.      Bersabar.
Allah SWT berfirman: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 155-157).

Kesabaran dalam kondisi tertimpa musibah menjadi wajib jika kesabaran itu yang akan menghalangi seseorang berbuat dosa lantaran tertimpa musibah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata: “Sabar menjadi wajib sesuai kesepakatan Ulama, ia adalah setengah iman, karena iman memiliki dua bagian, bagian pertama sabar dan bagian kedua syukur”. (Madarijussalikiin, tingkatan sabar).

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Rasulullah saw melewati seorang perempuan yang sedang menangis di hadapan kuburan, Rasul berkata: “Bertakwalah kepada Allah SWT dan bersabarlah”.  Pergi sana, engkau tidak merasakan deritaku dan tidak mengetahuinya!”. Maka disampaikan kepada perempuan itu, bahwa lelaki tadi adalah Rasulullah saw. Maka ia mendatangi rumah Nabi, dan tidak menemukan adanya petugas yang menjaga rumah, maka ia berkata kepada Rasul: “Aku tidak mengenalmu (tadi)”. Rasul bersabda: “Sesungguhnya sabar itu pada benturan pertama”. (HR. Bukhari).

Imam Ibnu Hajar berkata: “Maksud dari sabda Rasul “sesungguhnya sabar itu pada benturan pertama” adalah bahwa jika keteguhan hati hadir seketika datanganya peristiwa yang menggoncang jiwa, itulah kesabaran sempurna yang mendatangkan pahala”.

b.      Ridha dengan qadha dan qadar serta berpasrah penuh kepada Allah SWT.
Sifat ini adalah sifat mukmin yang bertawakkal kepada Allah SWT, membenarkan janji-Nya, ridha dengan keputusan-Nya. Percaya kepada qadha dan qadar merupakan bagian dari rukun iman. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab berbunyi: “(Lelaki itu) berkata: “Beritahu aku tentang iman”. Rasulullah saw menjawab: “Engkau beriman kepada Allah SWT, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya,kepada rasul-rasulnya, kepada hari akhir, dan beriman kepada qadha dan qadar-Nya yang baik dan buruk”. (HR. Muslim).

c.       Mengucapakn istirja’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun).
Allah SWT berfirman: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. (QS. Al-Baqarah: 155-156).

Dalam sebuah hadits diriwayatkan Ummu Salamah ra, beliau berkata: “Aku mendengar rasulullah saw bersabda: “tidak ada seorang hambapun yang tertimpa musibah kemudian ia membaca:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اَللَّهُمَّ آجِرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأخْلُفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا
(Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali, Ya Allah berikan pahala atas musibah yang menimpa dan gantilah dengan yang lebih baik)” kecuali Allah akan memberi ganjaran pahala atas apa yang menimpanya, dan Ia akan mengganti dengan apa yang lebih baik”. (HR. Muslim).

d.      Meyakini bahwa Dunia adalah kampung ujian.
Dunia penuh dengan ujian. Allah SWT berfirman: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS. Al-baqarah: 155).

e.      Meyakini bahwa keluarga, harta dan apa-apa yang dimiliki hakekatnya adalah milik Allah SWT.
Karena itu, sebagaimana Ia berkehendak memberi, Ia juga berkehendak mengambil. Sebuah syair dari seorang penyair bernama Labid, berbunyi:
Bukanlah harta dan keluarga kecuali hanya titipan belaka.
Pasti titipan itu sewaktu-waktu akan dikembalikan.

f.        Meminta pertolongan dengan perantara shalat.
Allah SWT berfirman: ”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. (QS. Al-Baqarah: 45). Ketika dirundung masalah dan urusan yang sangat penting, Rasulullah saw melakukan shalat. “Adalah rasulullah saw jika mendapat masalah ia melakukan shalat”. (HR. Ahmad).

g.      Mengingat-ingat pahala dan balasan besar yang disediakan Allah SWT.
Mengingat pahala dan balasan yang disediakan Allah SWT bagi siapa yang sabar menghadapi musibah bisa mengkondisikan jiwa dan pikiran menjadi tenang dan mudah menerima kondisi.


Diantara balasan yang Allah SWT sediakan:
1.      Surga. 
Allah SWT berfirman: “(yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;. (sambil mengucapkan): "Keselamatan bagi kalian karena kesabaran kalian”. Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Arra’d: 23-24). Rasul saw bersabda dalam hadits qudsi: “Tidak ada balasan bagi seorang hamba mukmin yang Aku (Allah) wafatkan kekasihnya di Dunia kemudian ia bersabar dan mengharap ganjaran dari-Ku, kecuali baginya Surga”. (HR. Bukhari).      
  
2.      Pahala tak terbatas. 
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (QS. Azzumar: 10).

3.      Kebersamaan Allah SWT bagi orang-orang sabar. 
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 153).

4.      Allah mencintai orang-orang yang bersabar. 
Allah menyukai orang-orang yang sabar”. (QS. Ali Imran: 146).

5.      Terhapusnya dosa. 
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada yang menimpa seorang mukmin baik berupa lelah, sakit, panik, sedih, rasa sempit, bahkan duri yang mengenainya, kecuali Allah SWT hapuskan kesalahan dan dosanya”. (HR. Bukhari).

6.      Mendapat doa, rahmat dan petunjuk Allah SWT. 
mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-Baqarah: 157). Wallahu a’lam.

Thursday 7 February 2013

KEJUJURAN



Jujur adalah sifat penting bagi Islam. Salah satu pilar Aqidah Islam adalah Jujur. Jujur adalah berkata terus terang dan tidak bohong. Orang yang bohong atau pendusta tidak ada nilainya dalam Islam.

Bahkan bisa jadi orang pendusta ini digolongkan sebagai orang yang munafik. Orang-orang munafik tergolong orang kafir. Nauzubillah. Allah berfirman :
Diantara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. [QS.2 Al-Baqarah :8-10]
Kalau seandainya ummat Islam seorang pendusta, tidak jujur, tentunya ketika ia menyatakan beriman, maka imannya sangat rapuh untuk dipercaya, karena orangnya tidak amanah atau dapat dipercaya karena telah dianggap pendusta.
|
Memang kita diciptakan manusia ini dua jalan.
  • Jalan kejahatan dan
  • Jalan kebaikan.
Firman Allah ta’ala:
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. [QS. As-syam :8]
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. [QS. Al-Balad :10-11]
Yang dimaksud dengan “Dua jalan” ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan. Jalan kejahatan adalah jalan yang mudah dan enak dikerjakan, tetapi jalan kebaikan dan kebajikan adalah jalan yang sulit, mendaki lagi sukar.

Kalau kita memilih jalan kebaikan, kebajikan. Inilah jalan yang diridhoi Allah subhanahu wata’ala, dan orang yang berada dijalan ini akan mendapat ganjaran dari allah subhanahu wata’ala. Tetapi jalan kebaikan ini tidak mudah, sulit lagi sukar.

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. [QS. Al-Balad :12-16]

Demikianlah jalan kebaikan yang harus orang-orang mu’min tempuh dan selalu bersabar berada dijalannya sama seperti kita puasa dibulan ramadhan ini tetap sabar dalam menjalankan ibadah dan segala kebaikan dan kebajikan yang kita amalkan selama dalam bulan Ramadhan.

Perbuatan baik dijalan yang baik tersebut diantaranya juga bersikap jujur. Jujur dalam segala perbuatan dan perbuatan kita. Karena orang yang terbiasa tidak jujur akan selalu menjadi serentetan kebohongan berikutnya yang lambat laun menjadi kebiasaan, dan dicaplah sebagai pembohong atau pendusta, nauzubillah.

Hadits nabi membawa pesan nabi salallohu alaihi wasalam tentang kejujuran adalah:
Selalulah kamu jujur, karena sesungguhnya jujur itu mengantarkan kamu pada kebaikan dan kebaikan itu sesungguhnya mengantarkan pada surga.
Sedangkan dusta akan mengantarkan pada keburukan dan dosa, dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan pada neraka. [Hadits: Mutafaqun Alaih]

Oleh sebab itu hendaklah kita akan senantiasa jujur. Dan dikatakan kita sebagai orang yang jujur. Orang jujur ada kemungkinan akan teguh dalam memegang amanah. Sedangkan orang yang pendusta atau tidak jujur sama sekali tidak bisa memegang amanah.
Jujur dan amanah adalah serangkaian sifat yang perlu kita sikapi. Sebagaimana rasulullah adalah seorang yang mempunyai sifat jujur, terpercaya [Amanah]. Oleh sebab itu kita patut menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan yang baik.

Sebagaimana Firman allah ta’ala:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
[QS. Al-Ahzab :21]


Sumber:  Dr. TA Sanny

Tuesday 5 February 2013

Rendah Hati (Tawadhu')

Semua akhlak yang dipraktikkan oleh Nabi bersumberkan daripada al-Qur’an. Akhlak ini telah membentuk karakter tersendiri dalam diri Nabi s.a.w. dan berpengaruh besar terhadap kehidupan sosialnya. Suatu saat Sayidah ‘Ā’isyah ditanya tentang akhlak Nabi s.a.w., ‘Ā’isyah kembali bertanya kepada orang yang bertanya itu: Apakah kamu pernah membaca al-Qur’an? dijawab: “Pernah.” ‘Ā’isyah meneruskan jawabannya: “Akhlak Nabi adalah al-Qur’an.”

Apabila akhlak Nabi bersumberkan daripada ajaran Al-Qur’an, maka sifat rendah hati yang memancar dari rumah Nabi juga berasal daripada al-Qur’an. Allah s.w.t. menegaskan bahawa Dia akan menjauhkan rahmat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya dari orang-orang yang sombong dan tidak mempunyai sifat rendah hati. Allah berfirman dalam surah al-A’rāf, 7: 146, yang ertinya: “Aku memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.”

Rasulullah s.a.w. adalah manusia yang sangat suka menderma, hatinya sangat lembut, dan peri lakunya sangat sopan. Beliau sangat ramah terhadap keluarganya. Orang yang baru mengenal akan merasa takut kerana kewibaannya, namun setelah sekian lama bersamanya dia akan mencintainya.

Sifat-sifat mulia tersebut sangat dirasakan oleh isteri-isteri Rasul dalam kehidupan mereka. Keadaan seperti ini, sudah semestinya sangat mempengaruhi kepribadian mereka, sehingga mereka sendiri juga menghiasakan diri mereka dengan akhlak-akhlak yang mulia tersebut, mereka terbiasa dengan sifat rendah hati dan tidak suka menyombong.

Kasih Sayang Dalam Islam

Hai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujuraat [49]:13).

AJARAN Islam tentang kasih sayang telah lama di kumandangkannya dengan sempurna dan indah. Namun, kebanyakan dari manusia tidak menyadari apa arti sesungguhnya dari kasih sayang itu sendiri, sehingga dapat terhenti dan menyimpang dari aturan-aturan yang telah di firmankan oleh Allah SWT dan sabda-sabda Rasul-Nya. Sebagaimana syair yang mengatakan, “mawaddatuhu taduumu likulli haulin, wa hal kullun mawaddatuhu taduumu”, kasih sayangnya (manusia) selalu kekal untuk segala hal yang menakutkan, dan apakah setiap orang itu kasih sayangnya selalu kekal. (Jawaahirul Balaaghah:407). Hal ini karena tidak diniatkan semata karena Allah yang tidak dijadikan sebagai ladang amal bahkan hanya untuk memperoleh keuntungan dan kesenangan duniawi saja.

Makna kasih sayang tidaklah berujung, sedangkan rasa kasih sayang adalah sebuah fitrah yang mesti direalisasikan terhadap sesama sepanjang kehidupan di dunia ini ada, tentunya dalam koridor-koridor Islam. Ini berarti bahwa Islam tidak mengenal waktu, jarak, dan tempat akan sebuah kasih sayang baik terhadap teman, sahabat, kerabat, dan keluarganya sendiri.

Rasulullah saw. bersabda, “Man laa yarhaminnaasa laa yarhamhullaah” Barang siapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayanginya. (H.R. Turmudzi). Dalam hadis tersebut kasih sayang seorang Muslim tidaklah terhadap saudara se-Muslim saja, tapi untuk semua umat manusia. Rasulullah saw. bersabda, “Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum kalian mengasihi.” Wahai Rasulullah, “Semua kami pengasih,” jawab mereka. Berkata Rasulullah, “Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia).” (H.R. Ath-Thabrani). Bahkan, bukan hanya kepada manusia saja ajaran Islam yang tinggi ini telah mengajarkan bagaimana kasih sayang terhadap hewan dan tumbuhan yang harus direalisasikan.

Abu Bakar Shiddiq r.a. pernah berpesan kepada pasukan Usamah bin Zaid, “Janganlah kalian bunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak kecil. Jangan pula kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang berbuah. Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak berdaya, biarkanlah mereka, jangan kalian ganggu.” Sebuah nasihat ini walau dalam keadaan untuk perang, ajaran Islam tetap memancarkan kasih sayangnya terhadap manusia, hewan, dan tumbuhan. Sebuah kisah lain yang menarik ketika Amr bin Ash menaklukkan kota Mesir, saat itu datanglah seekor burung merpati di atas kemahnya.
Melihat kejadian ini, kemudian Amr bin Ash membuat sangkar untuk merpati tersebut di atas kemahnya. Tatkala ia mau meninggalkan perkemahannya, burung dan sangkar tersebut masih ada. Ia pun tidak mau mengganggunya dan dibiarkan burung merpati itu hidup bersama sangkar yang ia buat. Maka kota itu dijuluki sebagai kota fasthath (kemah).

Jelaslah bahwa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi akan kasih sayang. Kita perlu mencontoh teladan Nabi saw. dan para sahabatnya yang benar-benar merealisasikan makna kasih sayang yang tanpa batas itu, tentunya untuk mencapai keridaan Allah semata yang bukan untuk mencari kesenangan dunia. Maka memang pantas bahwa Islam dikatakan sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin. Sifat kasih sayang adalah termasuk akhlak yang mulia yang dicintai Allah. Sebaliknya Allah sangat membenci akhlak yang rendah. Di antaranya kepada orang-orang yang tidak memiliki rasa belas kasih sayang. Ditegaskan hadis Rasulullah saw., Laa tunza’ur rahmatu illaa min syaqiyyin. Rasa kasih sayang tidaklah dicabut melainkan hanya dari orang-orang yang celaka.
(H.R. Ibn. Hibban).

Yang dimaksud dengan orang celaka adalah orang yang tidak memiliki rasa kasih sayang di dalam hatinya baik untuk dirinya maupun orang lain. Di sinilah perlunya kita bermuhasabah, bertafakur, apakah diri ini sudah benar menjalani hidup. Bagaimana kita mengasihi dan menyayangi ciptaan Allah sebagai akhlak yang mulia. “Sesungguhnya Allah SWT Maha Pemurah, Dia mencintai sifat pemurah, dan Dia mencintai akhlak yang mulia serta membenci akhlak yang rendah.” (H.R. Na’im melalui Ibnu Abbas r.a.).

Cinta kepada Allah
Di antara manusia banyak yang cinta dan mencintai Allah, tapi lebih banyak yang mencintai dunia. Mencintai Allah adalah fardu bagi kaum Muslimin dan Muslimat yang bukan sekadar dikata saja. Dan jika kita benar-benar mencintai Allah secara kesungguhan hati, maka proses “rasa kasih sayang” untuk makhluk ciptaan-Nya akan terbentuk dalam hati kita. Selain itu, jati diri kita sebagai seorang Muslim akan tampak lebih kokoh serta mampu menjalani syariat-syariat Islam yang diridai dan di berkahi oleh Allah SWT. Cinta kepada Allah adalah hal yang utama, sebagai jalan untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat dengan melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya. Cinta kepada Allah hendaklah melebihi cinta kepada segala yang maujud yang selain Allah. Mencintai Allah berarti juga mencintai Rasul-Nya, yakni mengikuti segala petunjuk Rasul dengan sepenuh-penuhnya. Firman Allah SWT, “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imran [3]:31). Ketahuilah, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang lebih baik dan kekal. Wallahu a’lam bishshawab.

Friday 1 February 2013

Islam dan Kedamaian

Sesungguhnya Allah itu lembut dan cinta kepada kelemahlembutan. Dia akan memberi sesuatu karena kelembutan yang tidak akan diberikan karena kekerasan, dan tidak diberikan karena sifat-sifat yang lainnya. [HR. Muslim juz 4, hal. 2003]

اَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِاَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصّيَامِ وَ الصَّلاَةِ وَ الصَّدَقَةِ؟ قَالُوْا:بَلَى. قَالَ: اِصْلاَحُ ذَاتِ اْلبَيْنِ، فَاِنَّ فَسَادَ ذَاتِ اْلبَيْنِ هِيَ اْلحَالِقَةُ

“Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan shedeqah ?”. Jawab shahabat, “Tentu ya Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak) agama”. [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi]
Dari dua hadits tersebut dapat kita membayangkan begitu indahnya Islam mengajarkan kelembutan, tidak beringas, dan cinta kedamaian, hingga Rasulullah SAW mengatakan bahwa mendamaikan orang yang berselisih lebih utama daripada puasa, shalat dan shadaqah.
Perselisihan apalagi sampai pertengkaran pada hakikatnya telah mencukur agamanya. Maksudnya orang yang suka perselisihan dan pertengkaran itu sudah tidak menggunakan aturan agamanya.
Di samping mengajarkan kelembutan dan kedamaian, Islam juga mengajarkan ketegasan dalam berpendirian, dan tidak bisa kompromi dengan segala bentuk kejahatan. Dalam hal ini Rasulullah SAW berpesan,

لاَ تَكُوْنُوْا اِمَّعَةً تَقُوْلُوْنَ اِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ اَحْسَنَّا، وَ اِنْ ظَلَمُوْا ظَلَمْنَا، وَ لكِنْ وَطّنُوْا اَنْفُسَكُمْ، اِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ اَنْ تُحْسِنُوْا وَ اِنْ اَسَاءُوْا فَلاَ تَظْلِمُوْا.

“Janganlah kamu sekalian menjadi orang yang ikut-ikutan saja. Kalian mengatakan, “Jika orang-orang berbuat kebaikan (jujur, amanat dan sebagainya) kamipun berbuat kebaikan pula, dan jika orang-orang berbuat dhalim (curang, khiyanat dan sebagainya) kamipun berbuat demikian”. Akan tetapi teguhkanlah pendirian kalian. Jika orang-orang berbuat kebaikan maka kalian berbuat kebaikan pula, dan jika orang-orang berbuat kejahatan janganlah kalian ikut berbuat demikian. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 246]

Orang yang tidak punya pendirian tersebut dalam bahasa kita disebut “ajur-ajer”, dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungan di mana dia tinggal. Orang-orang yang semacam inilah sementara orang mengatakan “pandai bergaul”, luwes, bahkan dikatakan orang yang bijak, bisa diterima di lingkungan yang bagaimanapun. Sedangkan dalam pandangan Islam orang semacam ini disebut munafiq, sebagaimana dinyatakan,

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

“Apabila bertemu (berkumpul) dengan orang-orang yang beriman menyatakan keimanannya dan melakukan perbuatan yang  menunjukkan sebagai bukti keimanannya, tetapi bila bertemu (berkumpul) dengan syaithan-syaithan mereka (teman jahat) mereka mengatakan, “Saya sependirian dengan kalian”. [QS. Al-Baqarah : 14]

Memang dalam kehidupan ini kadang kala harus menentukan salah satu dari dua pilihan. Apabila mau diajak berbuat bohong, curang, menyimpang dari ajaran agamanya, akan dicintai dan dijadikan shahabat yang setia. Akan tetapi bila berpegang teguh pada ajaran agamanya, tetap berlaku lurus, jujur, malah dikucilkan, dibenci, dikatakan semuci, dan sebagainya. Tetapi orang semacam ini dicintai oleh Allah.

وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لاتَّخَذُوكَ خَلِيلا (٧٣)وَلَوْلا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلا (٧٤)إِذًا لأذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا

“Dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu Jadi sahabat yang setia.dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu Hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami”.[QS. Al-Israa' : 73-75]

Menghadapi yang demikian bagi orang yang teguh imannya akan tetap teguh pendiriannya, memilih tetap lurus jujur agar dicintai Allah, walaupun dibenci oleh manusia. Semoga kita semua termasuk memilih yang dicintai Allah dengan segala resikonya.


Sumber:
Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukina
Ketua Umum Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA)