“Bacalah…”, “Iqra’…” Perintah pertama, wahyu pertama, dan kunci pertama Allah ajarkan untuk Nabi Muhammad SAW dan Ummatnya. Apa artinya?
Ada arti yang luar biasa strategis diinginkan dengan agama Nabi
Muhammad SAW ini. Untuk bisa lebih memahami pentingnya perintah membaca
ini, mari kita bandingkan Umat Muhammad dengan umat-umat sebelumnya.
Untuk meyakinkan membuat Fir’aun dan kaum Nabi Musa, Allah menunjukkan
kemukjizatan yang irasional, yaitu tongkat yang dapat berubah menjadi
ular. Nabi Isa, Allah berikan kemampuan menghidupkan orang mati, membuat
orang buta bisa melihat, menyembuhkan penyakit lepra yang di kala itu
tidak dapat disembuhkan sama sekali. Bagaimana dengan Umat Muhammad SAW?
Rasulullah bersabda:“Tidak seorang nabi pun melainkan diberikan
(mukjizat) yang membuat manusia beriman terhadap hal-hal seperti itu.
Sedangkan yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan kepadaku.
Dan aku berharap menjadi (nabi) yang paling banyak pengikutnya.”(HR
Bukhari dan Muslim).
Mukjizat Nabi Muhammad SAW bukan hal-hal yang irasional. Nabi Muhammad
mengajak umat manusia beriman atas dasar kerja akal dan proses berpikir
rasional. Mari renungkan perintah Allah untuk membaca tersebut: “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.
Apa yang diperintahkan untuk dibaca? Tidak disebutkan dalam ayat
tersebut. Karena yang lebih penting adalah bagaimana proses membaca
dilakukan. Sangat banyak hal-hal yang harus dibaca. Supaya proses
membaca menjadi efektif dan bermanfaat, Allah ajarkan adalah bagaimana
kita membaca. Karena itu secara gamblang Allah jelaskan how to-nya:
“Bacalah dengan nama Sang Pencipta.” Proses membaca yang bermanfaat
yang mendorong pada keimanan kepada Sang Pencipta. Kegiatan membaca yang
efektif adalah membaca yang dimulai dengan keberkahan iman kepada
Allah. Allah yang menciptakan manusia. Allah merupakan sumber ilmu.
Allah yang dengan murah hati memberikan karunia-Nya kepada hamba-Nya.
Bahan bacaan yang paling baik adalah al-Qur’an. Kualitas bahan bacaan
selalu ditentukan oleh kualitas sumbernya. Membaca tulisan yang dikarang
seorang pakar di bidangnya tentu jauh bermanfaat dibandingkan tulisan
yang dikarang oleh orang awam. Lalu bagaimana dengan bahan bacaan yang
berasal dari Sang Pencipta Langit dan Bumi?
Membaca al-Qur’an berarti mengkonsumsi informasi yang paling
berkualitas yang ada pada umat manusia. Membaca al-Qur’an berarti
menyerap ilmu yang paling tinggi yang mungkin diraih manusia. Membaca
al-Qur’an berarti melakukan peningkatan cakrawala dengan sarana terbaik.
Membaca al-Qur’an berarti meningkatkan kualitas diri dengan nara sumber
yang paling ideal yang tidak terbayangkan ketinggian kualitasnya.
Ada empat level dalam membaca al-Qur’an. Semuanya penuh berkah dan
manfaat. Semakin tinggi level membaca seseorang, semakin besar manfaat
yang diperoleh.
Level Pertama: Mengucapkan al-Qur’an dengan Benar
Rasulullah SAW, para sahabatnya dan para ulama sangat memberikan
perhatian yang besar terhadap bagaimana mengucapkan lafahz-lafazh
al-Qur’an secara baik dan benar. Karena bentuk ideal transfer informasi
adalah penyampaian redaksi secara tepat. Kesalahan pengucapan berakibat
buruk pada proses tranformasi informasi. Kalimat-kalimat ilahi dalam
al-Qur’an bukan saja memuat informasi dan ajaran kebenaran dan
keselamatan, tetapi juga memuat keindahan bahasa, ketinggian kualitas
sastra, serta keagungan suasana ilahiyyah. Karena itu dalam membaca
al-Qur’an sangat dianjurkan untuk memperhatikan adab-adabnya, seperti
harus dalam keadaan suci, berpakaian menutup aurat, membaca dengan
khusyu’, memperindah suara semampunya, dan memperhatikan tajwidnya.
Rasulullah SAW bersabda:“Perindahlah al-Qur’an dengan suara kalian.” (HR Abu Daud, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah).
Al-Qur’an adalah kata-kata dari Allah yang Maha Indah, karena itu
semaksimal mungkin kita menerjemahkan keindahan tersebut dengan cara
kita membaca. Meskipun demikian bukan berarti mereka yang tidak mampu
mengucapkan al-Qur’an dengan fasih mereka tidak boleh membaca al-Qur’an.
Cukup bagi seorang mukmin untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya.
Rasulullah SAW bersabda:“Orang mahir membaca al-Qur’an, bersama
dengan malaikat yang mulia dan berbakti. Sedangkan orang yang membaca
al-Qur’an terbata-bata dan mengalami kesulitan (mengucapkannya) dia
mendapatkan dua pahala.” (HR Muslim)
Subhanallah, ini adalah kemurahan Allah SWT. Yang membaca al-Qur’an
dengan penuh kesulitan dan terbata-bata Allah justru memberi dua pahala,
yaitu pahala mengucapkan al-Qur’an dan pahala menghadapi kesulitan.
Meskipun demikian yang mahir tetap mendapatkan kelebihan derajat yaitu
kemuliaan bersama dengan para malaikat.
Level Kedua, Membaca dengan Pemahaman
Maksud dari semua perkataan adalah pemahaman terhadap makna dari
perkataan tersebut. Demikian juga al-Qur’an. Allah menurunkan al-Qur’an
kepada umat manusia bukan sekedar dibunyikan tanpa dipahami. Al-Qur’an
bukanlah mantera-mantera yang diucapkan dengan komat-kamit. Al-Qur’an
adalah petunjuk. Dan al-Qur’an tidak akan menjadi petunjuk jika maknanya
tidak dipahami. Allah mengecam Ahlul Kitab yang merasa memilki kitab
suci tetapi tidak mengetahui isinya, Allah berfirman:“Dan diantara
mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al kitab (Taurat), kecuali
angan-angan belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS al-Baqarah: 78).
Allah menyebut Ahlul Kitab sebagai “ummiyyin” padahal mereka mampu
membaca dan menulis, tetapi karena mereka tidak mengetahui isi Kitab
Suci mereka Allah menyebut mereka sebagai buta huruf. Sebagian ahli
tafsir mengatakan bahwa makna kata “amani” artinya membaca. Berdasarkan
tafsir ini, kita memahami bahwa membaca saja tidak membuat kita
mendapatkan hidayah jika kita tidak memahami dan mengetahui makna
kalamullah.
Untuk memahami al-Qur’an tentu saja perlu mempelajari bahasanya. Bagi
yang tidak mengetahui bahasa Arab, membaca terjemahan atau tafsir
berbahasa Indonesia bisa dijadikan pengganti sebagai langkah darurat.
Saya katakan itu adalah langkah darurat, karena ketinggian bahasa
al-Qur’an tidak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Terjemahan
al-Qur’an hakekatnya hanyalah terjemahan dari pemahaman sang
penerjemah. Bahkan jika kita tanya kepada siapapun yang menerjemahkan
al-Qur’an, pasti dia akan mengatakan tidak semua makna yang dikandung
oleh lafal-lafal al-Qur’an dapat ditemukan padanannya pada bahasa lain.
Setingkat lebih baik dari terjemah al-Qur’an adalah terjemahan tafsir
al-Qur’an, atau tafsir yang memang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Siapapun yang ingin mempelajari isi al-Qur’an tidak boleh melewatkan
kitab-kitab tafsir. Seorang yang ahli bahasa Arab pun tidak akan tepat
memahami al-Qur’an jika tidak mempelajari kitab tafsir. Karena
sebagaimana halnya semua bahasa yang hidup adalah dinamis. Tidak semua
kata-kata yang dipakai orang jaman sekarang memiliki makna yang sama
dengan makna yang dipakai pada jaman turunnya al-Qur’an. Mislanya, kata
‘sayyaroh’ pada jaman ini berarti mobil, sedangkan dalam al-Qur’an
‘sayyaroh’ berarti kafilah dagang. Kata ‘qoryah’ di jaman sekarang
dipakai untuk makna desa, sedangkan dalam al-Qur’an artinya adalah kota
atau negeri.
Di sisi lain kitab-kitab tafsir beragam kualitasnya sesuai dengan
kapasitas keilmuan penulisnya. Yang paling dekat dengan kebenaran adalah
yang paling banyak menggali pemahaman dari wahyu itu sendiri. Metode
yang paling baik dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu
sendiri, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan Hadits Nabi, kemudian
menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan tabi’in, kemudian menafsirkan
al-Qur’an dengan kaidah bahasa. Kitab tafsir yang paling baik menerapkan
metode ini adalah Tafsir Ibnu Katsir.
Dikarenakan al-Qur’an kitab yang universal, maka setiap masa selalu
membutuhkan penafsiran yang mengupas al-Qur’an terkait dengan isu-isu
kontemporer. Pada abad ke-19 dan ke-20 muncul tafsir-tafsir kontemporer
seperti al-Manar karya Rasyid Ridho, at-Tahrir wat-Tanwir karya Ibnu
Asyur, Adhwa-ul Bayan karya Muhammad Amin asy-Syinqithy, dan yang
fenomenal adalah Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb.
Level Ketiga, Membaca dengan Tadabbur
Al-Qur’an mendorong manusia untuk memfungsikan akal dan hatinya lebih
jauh dari sekedar memahami, walaupun level memahami al-Qur’an adalah
level aktifitas otak yang tinggi. Jika seseorang memahami Kalamullah
berarti dia telah mencerna informasi yang luar biasa tinggi kualitasnya.
Tetapi ternyata Allah menginginkan kapasitas pemikiran seorang muslim
bergerak lebih jauh. Al-Qur’an mendorong akal dan hati untuk
mentadabburi al-Qur’an. Tadabbur berartideep thinking,
merenungi, memperhatikan secara mendalam, menggali hakekat yang
tersimpan di balik kata-kata, dan menyingkap horison di belakang makna.
Hal itu karena hakekat-hakekat yang terangkum dalam al-Qur’an tidak
semuanya hakekat yang permukaan yang sederhana dan mudah ditangkap.
Banyak hakekat-hakekat yang membutuhkan pemikiran yang dalam, perenungan
yang jauh serta pandangan yang tajam. Dan hal itu tidak mungkin
didapatkan hanya sekedar dengan menangkap lapisan luar lafal-lafal
al-Qur’an. Lebih jauh bahkan Allah menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan
dengan tujuan agar manusia mentadabburi ayat-ayat-Nya. Allah berfirman:“Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka mentadabburi ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS Shad: 76).
Untuk mentadabburi ayat-ayat Allah diperlukan hati yang bersih dan
pemikiran yang tajam. Hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan
mampu melihat secara jernih, karena syahwat akan banyak berbicara dan
mengendalikan hati. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang
akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23).
Ayat-ayat Allah yang terbentang di alam semesta juga hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh hati-hati yang bersih.“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab)” (QS
Ali Imran: 190).
Level Keempat, Membaca dengan Khusyu’
Masih ada plafon yang lebih tinggi di atas tadabbur? Ya, al-Qur’an
terus mendorong manusia untuk terbang tinggi menuju ketinggian ruh,
masuk ke alam penuh dengan keagungan ilahi dengan hati khusyu’ ruh sang
mukmin menyaksikan keagungan Allah.
Setelah hati mampu melihat alam di belakang dunia materi, memahami
hakekat di balik fenomena alam, ketika tirai tersingkap, hati mukmin
yang mentadabburi al-Qur’an luluh. Hati tunduk melihat kebesaran Allah.
Kulit bergetar merasakan keagungan Hakekat Mutlak. “Allah telah
menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang
yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu
Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS az-Zumar: 23).
Orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan ilmu ilahi, orang-orang yang
kedalaman ilmunya kokoh akan bersujud tunduk, mata mereka akan
memancarkan air mata kekhusyu’an setiap kali mereka diingatkan dengan
ayat-ayat Allah, setiap kali hati mereka tersentuh dengan Kebenaran
Ilahi Mutlak. “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan
sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur
atas muka mereka sambil bersujud, (108) dan mereka berkata: “Maha suci
Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi”. (109) dan
mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah
khusyu’.” (QS al-Isra’: 107-109).