“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal” (QS
Al-Hujurat: 13).
Ayat ini menjelaskan
kepada kita bahwa selain mengemban misi ibadah (QS Adz-Dzariyat: 56) dan misi
memakmurkan bumi (isti’marul ardh, QS Hud: 61), tujuan penciptaan
manusia adalah untuk mengemban misi sosial (lita’aarafu bainal insaan). Sengaja
Allah Swt. menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, agar satu sama lain
melakukan interaksi sosial, membangun silaturahim (persahabatan dan
persaudaraan), dan melakukan kerjasama antarsuku dan atau antarbangsa. Sebagai
makhluk sosial, tentu saja manusia tak ada dapat hidup tanpa berinteraksi
dengan manusia lainnya.
Menurut Kimball Young
dan Raymond (1959), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia. Interkasi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena
tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Gillin dan
Gillin, Cultural Sociology, 1954).
Di dalam Al-Qur`an al-Karim,
Allah Swt. bahkan mengintegrasikan misi sosial ke dalam misi ibadah. Interaksi
sosial, dalam arti dakwah (tadzkirah), menjadi prasyarat dan penyempurna
bagi pelaksanaan misi ibadah. Simaklah firman Allah Swt.
“Dan tetaplah memberi
peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” (QS
Adz-Dzariyat: 55-56).
Ayat ini menegaskan
bahwa misi ibadah akan sulit dilaksanakan tanpa adanya aktivitas dakwah,
yaitu tadzkirah (saling mengingatkan dan menasehati dalam
kebaikan) di antara sesama manusia. Banyak aktifitas ibadah yang tidak bisa
atau kurang sempurna bila dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Misalkan
shalat Jum’at dan shalat berjamaah. Begitu pula dengan pelaksanaan shaum (puasa)
di bulan Ramadhan akan terasa berat bila tidak dilakukan secara serempak
(berjamaah). Belum lagi pelaksanaan hudud dan jinayah (hukum
pidana) tak bisa dilakukan tanpa adanya kesepakatan di antara umat Islam untuk
melaksanakan hukum tersebut.
Oleh karena itu, Allah
Swt. menegaskan bahwa sebelum melaksanakan misi ibadah dalam arti luas, kita
diperintahkan untuk melakukan misi sosial (interaksi sosial) dalam bentuk
dakwah. Dalam terminologi Islam, interaksi sosial pada hakikatnya adalah
dakwah itu sendiri.
Setiap interaksi sosial
selalu menimbulkan dampak baik atau buruk, suka atau tidak suka, diterima (accepted)
atau ditolak (rejected). Karena pada hakikatnya interaksi sosial adalah
proses saling mempengaruhi di antara manusia. Seperti dikatakan Bonner dalam
bukunya Social Psychology (1953), interaksi sosial adalah
suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan
individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu
yang lain, atau sebaliknya.
Bagi seorang Muslim,
interaksi sosial kurang bermakna bila tidak menghasilkan interaksi dakwah. Oleh
karena itu, Islam mengatur tentang hubungan antara orangtua dengan anak, suami
dengan istri, yang lebih tua dengan yang lebih muda, hubungan bertetangga,
hubungan kekerabatan, hubungan sesama Muslim, hubungan Muslim dengan
non-Muslim, ulama dengan ‘umara (pemerintah), pemerintah
dengan rakyat, dan sebagainya. Semua itu diatur agar tercapai sebuah
keharmonisan hidup. Sehingga kehidupan yang penuh ujian dan fitnah bila diatur
oleh nilai-nilai Islam, maka akan menghasilkan kehidupan yang lebih bermakna.
Setiap orang yang
melakukan interaksi sosial, terikat dengan etika pergaulan sesuai dengan kadar
dan ikatan pergaulan tersebut. Ikatan itu bisa berupa kekeluargaan,
kekerabatan, persahabatan, pertemanan, kolega, atau sahabat pena.
Setiap orang tentu
memiliki kekerabatan yang bertingkat-tingkat. Kekerabatan memiliki hak, akan
tetapi hak kerabat mahram (orang yang haram dinikahi
sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa`: 23) lebih kuat. Mahram punya
hak, akan tetapi hak kedua orangtua lebih kuat. Demikian pula hak tetangga,
berbeda-beda sesuai dengan jauh dan dekatnya rumah. Begitu pula dengan kenalan
atau pertemanan. Hak orang yang dikenal dengan cara bertemu langsung tidak sama
dengan teman yang dikenal lewat telepon, surat, atau chating.
Secara garis besar, Dr.
Said bin Muhammad Daib Hawwa yang lebih dikenal dengan Syeikh Said Hawwa dalam
kitab Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus memaparkan tentang
etika interaksi sosial atau etika pergaulan. Beliau mengatakan, “Bila anda
menginginkan interaksi sosial yang baik, maka hadapilah teman dan orang-orang
yang membenci anda dengan wajah ridha tanpa menghinakan diri dan takut kepada
mereka, menghormati tanpa sombong, dan tawadhu tanpa kehinaan.”
Beliau menambahkan, bila
anda berada di hadapan orang, janganlah menarik-narik jenggot, jangan
memasukkan jari ke lubang hidung, dan jangan banyak menguap. Duduklah dengan
tenang, berbicaralah dengan teratur dan dengarlah pembicaraan orang lain dengan
baik tanpa menampakkan kekaguman yang berlebihan. Diamlah terhadap hal-hal yang
mengundang tawa. Janganlah anda berbicara tentang kekaguman anda kepada anak
anda, pembantu anda, tulisan anda, dan semua urusan pribadi anda.
Buatlah mereka segan
tanpa kekerasan. Bersikaplah lemah-lembut tanpa rasa lemah. Janganlah anda
terlalu banyak bercanda dengan bawahan dan pembantu anda. Jika marah, hendaklah
anda tetap menghargai dan menjaga diri dari berbuat kebodohan dan menjauhi
ketergesaan. Berbicaralah jika kemarahan anda telah reda.
Bila memasuki sebuah
majelis, berilah salam terlebih dahulu, tidak melangkahi orang yang telah duduk
terlebih dahulu. Duduklah di tempat yang kosong, bersikap tawadhu,
dan mengucapkan salam kepada orang yang paling dekat duduknya dengan anda
Janganlah anda
duduk-duduk di pinggir jalan. Jika anda duduk di pinggir jalan, maka
adabnya adalah menundukkan pandangan, membela orang yang teraniaya, menolong
orang yang memerlukan pertolongan, membantu orang yang lemah, membimbing orang
yang tersesat, menjawab salam, memberi orang yang meminta, memerintahkan
yang ma’ruf, mencegah yang munkar, tidak meludah ke arah kiblat
atau ke sebelah kanan anda.
Jika
anda bergaul dengan para penguasa atau pejabat, janganlah
menggunjing, jangan berdusta, dapat menjaga rahasia, mempersedikit
keperluan, menghaluskan bahasa dan ungkapan, mengkaji akhlak para raja, tidak
berambisi atau menjilat di hadapan mereka, dan tidak bertusuk gigi
setelah makan di sisi mereka.
Bila anda bergaul dengan
orang awam, hendaknya tidak melibatkan diri terlalu jauh dengan pembicaraan
mereka, melupakan ungkapan-ungkapan buruk mereka. Janganlah anda mencandai
orang pintar atau orang bodoh. Karena orang pintar akan mendengki dan
merendahkanmu, sedangkan orang bodoh akan berani kepadamu. Senda
gurau yang berlebihan akan mengurangi wibawa, menjatuhkan air muka,
menimbulkan kedengkian, menghilangkan kasih sayang, menjatuhkan kedudukan di
hadapan orang bijak, dan tidak disukai orang-orang bertaqwa. Senda
gurau yang melampaui batas etika Islam juga bisa mematikan hati,
menjauhkan diri dari Allah, menyebabkan kelalaian, mengakibatkan kehinaan,
mematikan imajinasi, memperbanyak aib dan dosa. Demikian, nasehat Said Hawwa.
Setiap Muslim, apalagi
juru dakwah, dituntut untuk bijak dalam menata pergaulannya. Di satu sisi,
dalam mengemban misi dakwahnya, ia harus membuka kontak sosial seluas-luasnya
dan bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, ia
harus tetap menjaga kelebihan dan keistimewaan dirinya sebagai seorang Muslim.
Untuk melakonkan peran demikian, para ulama dakwah membuat prinsip, "nakhtalithuun
walaakin natamayyazuun" (berbaur tetapi tidak melebur). Mewarnai,
tetapi tidak diwarnai. Mempengaruhi, tetapi tidak dipengaruhi.
Perinsip ini diajarkan
oleh Rasulullah Saw. Aisyah ra. menceritakan, seorang lelaki meminta izin
bertemu Rasulullah Saw. Beliau mengizinkannya sambil berkata,
"Seburuk-buruk teman adalah dia". Akan tetapi, setelah orang itu
masuk, Rasulullah Saw. memperlakukannya dengan sopan dan lemah lembut, bahkan
menghormatinya. Setelah lelaki tersebut keluar, Aisyah ra. berkata,
"Ketika orang itu akan masuk engkau memburukkannya. Tetapi engkau
menerimanya dengan penuh penghormatan." Nabi Saw. lalu bersabda,
"Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah
pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia lantaran menghindari
keburukannya" (HR Bukhari dan Muslim).
Akan
tetapi Umar ra. mengingatkan kita agar tidak terlalu longgar dalam pergaulan
untuk menghindari terjadinya fitnah atau su`uzhzhan (prasangka
buruk) dari orang lain. Beliau berkata, "Siapa yang menempatkan
dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, janganlah mencela orang yang
berprasangka buruk kepadanya." Sebuah atsar (perkataan shahabat,
tabi’in, tabi’it tabi’in, ulama salaf) menyebutkan, "Akrabilah
manusia dengan amal perbuatan kalian, dan jauhilah mereka dengan
hatimu." Wallahu a'lam bishshawab.
No comments:
Post a Comment