Sunday 7 April 2013

Etika Pergaulan dalam Islam


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat: 13).
 
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa selain mengemban misi ibadah (QS Adz-Dzariyat: 56) dan misi memakmurkan bumi (isti’marul ardh, QS Hud: 61), tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengemban misi sosial (lita’aarafu bainal insaan). Sengaja Allah Swt. menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, agar satu sama lain melakukan interaksi sosial, membangun silaturahim (persahabatan dan persaudaraan), dan melakukan kerjasama antarsuku dan atau antarbangsa. Sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tak ada dapat hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya.
 
Menurut Kimball Young dan Raymond (1959), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interkasi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, 1954).
 
Di dalam Al-Qur`an al-Karim, Allah Swt. bahkan mengintegrasikan misi sosial ke dalam misi ibadah. Interaksi sosial, dalam arti dakwah (tadzkirah), menjadi prasyarat dan penyempurna bagi pelaksanaan misi ibadah. Simaklah firman Allah Swt.
 
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz-Dzariyat: 55-56).
 
Ayat ini menegaskan bahwa misi ibadah akan sulit dilaksanakan tanpa adanya aktivitas dakwah, yaitu tadzkirah (saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan) di antara sesama manusia. Banyak aktifitas ibadah yang tidak bisa atau kurang sempurna bila dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Misalkan shalat Jum’at dan shalat berjamaah. Begitu pula dengan pelaksanaan shaum (puasa) di bulan Ramadhan akan terasa berat bila tidak dilakukan secara serempak (berjamaah). Belum lagi pelaksanaan hudud dan jinayah (hukum pidana) tak bisa dilakukan tanpa adanya kesepakatan di antara umat Islam untuk melaksanakan hukum tersebut.
 
Oleh karena itu, Allah Swt. menegaskan bahwa sebelum melaksanakan misi ibadah dalam arti luas, kita diperintahkan untuk melakukan misi sosial (interaksi sosial) dalam bentuk dakwah. Dalam terminologi Islam, interaksi sosial pada hakikatnya adalah dakwah itu sendiri.
 
Setiap interaksi sosial selalu menimbulkan dampak baik atau buruk, suka atau tidak suka, diterima (accepted) atau ditolak (rejected). Karena pada hakikatnya interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi di antara manusia. Seperti dikatakan Bonner dalam bukunya Social Psychology (1953), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.
 
Bagi seorang Muslim, interaksi sosial kurang bermakna bila tidak menghasilkan interaksi dakwah. Oleh karena itu, Islam mengatur tentang hubungan antara orangtua dengan anak, suami dengan istri, yang lebih tua dengan yang lebih muda, hubungan bertetangga, hubungan kekerabatan, hubungan sesama Muslim, hubungan Muslim dengan non-Muslim, ulama dengan ‘umara (pemerintah), pemerintah dengan rakyat, dan sebagainya. Semua itu diatur agar tercapai sebuah keharmonisan hidup. Sehingga kehidupan yang penuh ujian dan fitnah bila diatur oleh nilai-nilai Islam, maka akan menghasilkan kehidupan yang lebih bermakna.
 
Setiap orang yang melakukan interaksi sosial, terikat dengan etika pergaulan sesuai dengan kadar dan ikatan pergaulan tersebut. Ikatan itu bisa berupa kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan, pertemanan, kolega, atau sahabat pena.
 
Setiap orang tentu memiliki kekerabatan yang bertingkat-tingkat. Kekerabatan memiliki hak, akan tetapi hak kerabat mahram (orang yang haram dinikahi sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa`: 23) lebih kuat. Mahram punya hak, akan tetapi hak kedua orangtua lebih kuat. Demikian pula hak tetangga, berbeda-beda sesuai dengan jauh dan dekatnya rumah. Begitu pula dengan kenalan atau pertemanan. Hak orang yang dikenal dengan cara bertemu langsung tidak sama dengan teman yang dikenal lewat telepon, surat, atau chating.
 
Secara garis besar, Dr. Said bin Muhammad Daib Hawwa yang lebih dikenal dengan Syeikh Said Hawwa dalam kitab Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus memaparkan tentang etika interaksi sosial atau etika pergaulan. Beliau mengatakan, “Bila anda menginginkan interaksi sosial yang baik, maka hadapilah teman dan orang-orang yang membenci anda dengan wajah ridha tanpa menghinakan diri dan takut kepada mereka, menghormati tanpa sombong, dan tawadhu tanpa kehinaan.”
 
Beliau menambahkan, bila anda berada di hadapan orang, janganlah menarik-narik jenggot, jangan memasukkan jari ke lubang hidung, dan jangan banyak menguap. Duduklah dengan tenang, berbicaralah dengan teratur dan dengarlah pembicaraan orang lain dengan baik tanpa menampakkan kekaguman yang berlebihan. Diamlah terhadap hal-hal yang mengundang tawa. Janganlah anda berbicara tentang kekaguman anda kepada anak anda, pembantu anda, tulisan anda, dan semua urusan pribadi anda.
 
Buatlah mereka segan tanpa kekerasan. Bersikaplah lemah-lembut tanpa rasa lemah. Janganlah anda terlalu banyak bercanda dengan bawahan dan pembantu anda. Jika marah, hendaklah anda tetap menghargai dan menjaga diri dari berbuat kebodohan dan menjauhi ketergesaan. Berbicaralah jika kemarahan anda telah reda.
 
Bila memasuki sebuah majelis, berilah salam terlebih dahulu, tidak melangkahi orang yang telah duduk terlebih dahulu. Duduklah di tempat yang kosong, bersikap tawadhu, dan mengucapkan salam kepada orang yang paling dekat duduknya dengan anda
 
Janganlah anda duduk-duduk di pinggir jalan. Jika anda duduk di pinggir jalan, maka adabnya adalah menundukkan pandangan, membela orang yang teraniaya, menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu orang yang lemah, membimbing orang yang tersesat, menjawab salam, memberi orang yang meminta, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, tidak meludah ke arah kiblat atau ke sebelah kanan anda.
 
Jika anda  bergaul dengan para penguasa atau pejabat, janganlah menggunjing, jangan berdusta, dapat menjaga rahasia, mempersedikit keperluan, menghaluskan bahasa dan ungkapan, mengkaji akhlak para raja, tidak berambisi atau menjilat di hadapan mereka, dan tidak bertusuk gigi setelah makan di sisi mereka.
 
Bila anda bergaul dengan orang awam, hendaknya tidak melibatkan diri terlalu jauh dengan pembicaraan mereka, melupakan ungkapan-ungkapan buruk mereka. Janganlah anda mencandai orang pintar atau orang bodoh. Karena orang pintar akan mendengki dan merendahkanmu, sedangkan orang bodoh akan berani kepadamu. Senda gurau yang berlebihan akan mengurangi wibawa, menjatuhkan air muka, menimbulkan kedengkian, menghilangkan kasih sayang, menjatuhkan kedudukan di hadapan orang bijak, dan tidak disukai orang-orang bertaqwa. Senda gurau yang melampaui batas etika Islam juga bisa mematikan hati, menjauhkan diri dari Allah, menyebabkan kelalaian, mengakibatkan kehinaan, mematikan imajinasi, memperbanyak aib dan dosa. Demikian, nasehat Said Hawwa.
 
Setiap Muslim, apalagi juru dakwah, dituntut untuk bijak dalam menata pergaulannya. Di satu sisi, dalam mengemban misi dakwahnya, ia harus membuka kontak sosial seluas-luasnya dan bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, ia harus tetap menjaga kelebihan dan keistimewaan dirinya sebagai seorang Muslim. Untuk melakonkan peran demikian, para ulama dakwah membuat prinsip, "nakhtalithuun walaakin natamayyazuun" (berbaur tetapi tidak melebur). Mewarnai, tetapi tidak diwarnai. Mempengaruhi, tetapi tidak dipengaruhi.
 
Perinsip ini diajarkan oleh Rasulullah Saw. Aisyah ra. menceritakan, seorang lelaki meminta izin bertemu Rasulullah Saw. Beliau mengizinkannya sambil berkata, "Seburuk-buruk teman adalah dia". Akan tetapi, setelah orang itu masuk, Rasulullah Saw. memperlakukannya dengan sopan dan lemah lembut, bahkan menghormatinya. Setelah lelaki tersebut keluar, Aisyah ra. berkata, "Ketika orang itu akan masuk engkau memburukkannya. Tetapi engkau menerimanya dengan penuh penghormatan." Nabi Saw. lalu bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia lantaran menghindari keburukannya" (HR Bukhari dan Muslim).
 
Akan tetapi Umar ra. mengingatkan kita agar tidak terlalu longgar dalam pergaulan untuk menghindari terjadinya fitnah atau su`uzhzhan (prasangka buruk) dari orang lain. Beliau berkata, "Siapa yang menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, janganlah mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya." Sebuah atsar (perkataan shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, ulama salaf) menyebutkan, "Akrabilah manusia dengan amal perbuatan kalian, dan jauhilah mereka dengan hatimu." Wallahu a'lam bishshawab.
 



Tuesday 2 April 2013

Tips dan Trik Mengobati Hati Yang Sakit

1. Segera bertaubat dan banyak beristighfar.

Sesungguhnya dosa sangat mempengaruhi hati seseorang, setiap berbuat dosa akan tetancap bintik hitam pada hati seseorang tersebut. Ibarat besi yang semakin hari dililit karat, bila sudah terlalu tebal maka untuk menghilangkannya akan sangat sulit dan butuh pada waktu yang cukup lama. Diterjen yang paling manjur untuk membersihhkan karat hati adalah taubat dan istighfar.

Amat banyak sekali ayat-ayat maupun hadits-hadits yang memerintahkan agar kita senantiasa bertobat dan memohon ampunnan dari Allah.


Seperti perintah nabi Huud ‘alaihis salam  kepada kaumnya yang terdapat dalam fiman Allah:


وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ [هود/52]


“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.”


Demikian pula perintah nabi Syu’aib ‘alaihis salam kepada kaumnya dalam firman Allah:


وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ [هود/90]


“Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.”


2. Banyak bertawakal.

Agar hati kita tenang ketika berihtiar dan berusaha, hendaklah kita bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.


Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا [الطلاق/3]



“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”


3. Biasakan bersikap sabar.

Dalam menjalani hidup sehari-hari pasti kita akan mengalami kondisi yang saling berbeda. Tidak ada seorangpun yang tidak mengalami cobaan dan ujian. Karena Allah telah menjadikan kehidupan ini untuk melihat siapa yang lulus dari ujian.


Sebagaimana Allah berfirman:


أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ [العنكبوت/2، 3]


“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”


Dan firman Allah:


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ [البقرة/155]


“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”


4. Sering membaca dan mendengarkan Al Qur’an.

Al Qur’an adalah kitab suci yang oenuh berkah disamping sebagai petunjuk, rahmat dan pelajaran. Ia juga sebagai obat dan penawar bagi berbagai penyakit hati, sebagaimana Allah sebutkan dalam firmannya:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ [يونس/57]


“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”


Dan firman Allah:


وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا [الإسراء/82]


“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”


5. Mempelajari ilmu agama terutama ilmu Akidah.

Mempelajari ilmu akidah berdasarkan dalil-dalil syar’i akan menyembuhkan hati kita dari berbagai bentuk penyakit syubuhat (Kesesatan) dalam hati. Seperti penyakit ragu, nifaq, syirik, bid’ah dan lain-lain.

Oleh sebab itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga belas tahun di Makkah menyeru kepada tauhid dan memperbaiki aqidah orang kafir Quraisy. Demikian pula ayat-ayat yang turun di Makkah jika kita perhatikan hanya berbicara tentang tauhid dan Aqidah. Demikian tugas seluruh para rasul dan nabi mengajak manusia untuk mengetahui tentang pentingnya tauhid dan betapa berbahayanya syirik. Jika kiata membaca surat yang pertama turun adalah perintah untuk membaca dan menulis karena keduanya adalah sarana untuk mendapat ilmu.


Sebagaiman terdapat dalam firman Allah:


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ [العلق/1-5]


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”


6. Membiasakan berinfak

Membiasakan berinfak adalah cara membersihkan hati dari penyakit kikir dan tamak. Oleh sebab itu, banyak sekali ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk selalu berinfak.


Sebagaimana Allah berfirman:


إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21) إِلَّا الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ (23) وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ [المعارج/19-25]


“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa.”


7. Berteman dengan orang-orang yang sholeh dan taat beribadah serta berakhlak mulia.

Berteman denga orang yang sholeh akan banyak memberikan terapi bagi kita. Karena ia akan mengingatkan jika kita lupa dan akan menasehati jika kita tersalah.


Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:


«مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْهُ شَىْءٌ أَصَابَكَ مِنْ رِيحِهِ وَمَثَلُ جَلِيسِ السُّوءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْكِيرِ إِنْ لَمْ يُصِبْكَ مِنْ سَوَادِهِ أَصَابَكَ مِنْ دُخَانِهِ .” رواه أبو داود


“Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)